Mungkinkah Membuka Lembaran Baru di Myanmar?

AP/Katsumi Kasahara

Sekitar 400 warga Myanmar di Jepang menggelar unjuk rasa di depan Kedubes Myanmar di Tokyo, Kamis (13/3). Protes berkaitan dengan 20 tahun junta merebut kekuasaan.

Secercah harapan sempat tebersit ketika Utusan Khusus PBB Ibrahim Gambari berkunjung lagi ke Myanmar, 6-10 Maret. Tapi, harapan itu tak berumur panjang. Sikap keras junta militer Myanmar tak kunjung berubah.

Alih-alih menyampaikan keprihatinan internasional, untuk menemui pemimpin junta Jenderal Senior Than Shwe pun, Gambari tidak diperkenankan. Kegagalan itu disambut kekecewaan berbagai kalangan. Apalagi sebelumnya masyarakat internasional jengkel dengan hasil draf konstitusi.

Konstitusi yang diharapkan bisa membawa angin perubahan ternyata tidak akan bermakna apa-apa. Rakyat Myanmar tidak dilibatkan di dalam proses penyusunan konstitusi. Draf konstitusi dirancang diam-diam, penuh kerahasiaan. Padahal, konstitusi diharapkan dapat menghadirkan pemilu demokratis ke tengah rakyat Myanmar pada 2010 yang akan menentukan masa depan rakyat Myanmar.

Sebaliknya, draf konstitusi justru menyiratkan tiada ruang bagi oposisi. Mengacu draf, pemimpin prodemokrasi Aung San Suu Kyi tak diperbolehkan ikut pemilu karena ia menikah dengan pria asing, Michael Aris. Mendiang suami Suu Kyi itu berkebangsaan Inggris. Demikian pula kedua putra mereka. Dalam draf juga disebutkan 25 persen kursi parlemen dialokasikan untuk militer. Siapa yang akan menempati kursi-kursi tersebut ditentukan oleh komandan militer.

Bagi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), soal konstitusi merupakan tantangan terdekat bagi mereka. "Tenggat waktu pelaksanaan referendum pada Mei 2008 sebagaimana diumumkan oleh Dewan Pembangunan dan Perdamaian Negara (SPDC) adalah tantangan yang harus dihadapi rakyat dan gerakan demokrasi di Burma," ungkap Ketua Komite Luar Negeri NLD Nyo Ohn Myint, saat berbicara di konferensi internasional "The Role of ASEAN Civil Society in Supporting Human Rights and Democracy in Burma" di Jakarta, 6-7 Maret. Konferensi diselenggarakan oleh Human Rights Working Group (HRWG), Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Koalisi Burma Indonesia (KMSUB), didukung oleh Kedubes AS di Jakarta dan National Democratic Institute (NDI).

Ia menuturkan tawaran referendum dapat diterima kalau kompromi, salah satunya dengan menerima hasil pemilu pada 1990. NLD merupakan oposisi utama yang menang pemilu Mei 1990 dengan meraih 392 dari 485 kursi yang diperebutkan. Tetapi, junta menolak kemenangan NLD. Bahkan pimpinan NLD termasuk Suu Kyi ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

NLD bertekad tidak akan menerima tawaran apa pun dari junta, entah referendum ataupun pemilu, apabila tidak disertai langkah-langkah kompromistis. "Kebijakan terkait referendum ataupun pemilu pertama-tama harus dilandasi rekonsiliasi nasional," ujar Nyo Ohn Myint yang kini hidup di pengasingannya di Thailand.

Menurutnya, tiga pihak yakni kelompok-kelompok etnis, NLD dan para pendukung demokrasi, serta junta harus dilibatkan dalam proses referendum maupun pemilu.

Tanggung Jawab Internasional

Krisis Myanmar tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab internasional, khususnya ASEAN. Sebenarnya, tekanan dan sanksi terhadap junta militer sudah diberlakukan sejak lama. Setidaknya sejak junta militer menganulir pemilu 1990 yang dimenangkan NLD. Tekanan dan sanksi semakin diperketat setelah meletup demonstrasi menentang kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), September 2007. Demonstrasi damai, yang dimotori para aktivis prodemokrasi dan biksu Buddha disambut junta dengan kekerasan brutal.

Konselor Politik Kedubes AS di Jakarta Joseph L.Novak menyebutkan sanksi terhadap junta sudah diberlakukan Pemerintah AS jauh sebelum September 2007. Setelah junta menganulir kemenangan NLD dalam pemilu 1990, derajat hubungan diplomatik AS-Myanmar diturunkan dari tingkat duta besar menjadi kuasa usaha.

Di bidang ekonomi, Washington melarang investasi baru di Myanmar sejak 1997 baik terhadap perusahaan-perusahaan AS maupun pengusaha perseorangan. Selain itu, ada larangan segala macam impor, larangan ekspor jasa keuangan ke Myanmar, pembekuan aset-aset sejumlah lembaga keuangan maupun sejumlah pejabat Myanmar, pembatasan visa terhadap para pejabat hingga larangan penjualan peralatan pertahanan.

Pasca September 2007, AS memperketat sanksi dengan menerbitkan Executive Order 13348 pada Oktober 2007. AS juga masih terus mencari cara untuk membidik tokoh-tokoh kunci rezim. "Aset-aset para pejabat yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM dan korupsi uang rakyat diblokade," tambah Novak.

Di sisi lain, banyak kalangan menilai tekanan AS, Uni Eropa atau PBB tidak menghasilkan perubahan. Pasalnya, baik AS maupun UE tidak punya akses langsung maupun kemampuan untuk membujuk kepemimpinan junta.

Memainkan Pengaruh

Tiongkok, sekutu terdekat junta, yang diyakini punya pengaruh besar terhadap rezim militer, memang ikut mendesak junta. Tetapi, masih sebatas mempertahankan sikap tradisionalnya untuk tidak ikut campur dalam masalah-masalah domestik negara lain.

Direktur Eksekutif ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus (AIPMC) Roshan Jason menyayangkan sikap Tiongkok tersebut. Sikap serupa juga ditempuh India dan Rusia, yang juga punya jaringan dengan Myanmar. "Dalam hal ini, ASEAN menjadi entitas yang mampu dan seharusnya berani bersikap tegas terhadap junta," ia berharap.

Hal senada juga disuarakan Koordinator Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Djamin. Ia mengajak pemerintah dan rakyat di negara-negara ASEAN untuk bersikap lantang. "Referendum di Burma sepatutnya ditolak pemerintah dan rakyat ASEAN kecuali ada jaminan partisipasi rakyat yang sejati disertai proses dialog tripartit yang bermakna dengan kerangka waktu yang jelas," tegasnya.

Demokratisasi di Myanmar sepatutnya bukan sekadar janji. Proses referendum pun harus inklusif. Oleh karena itu, dalam Deklarasi Jakarta untuk Burma yang dihasilkan konferensi, para peserta mendesak agar dialog tripartit melibatkan kelompok oposisi dan etnis sebagai langkah mewujudkan rekonsiliasi nasional. Seluruh tahanan politik, termasuk Suu Kyi harus dibebaskan sebagai syarat referendum yang bebas dan adil.

Selain itu, ASEAN harus dapat mengambil peran lebih aktif dan mendukung misi PBB, baik melalui Ibrahim Gambari maupun di dalam sidang sesi khusus di Dewan Keamanan PBB tentang Burma. "Krisis tak bisa diselesaikan tanpa langkah-langkah efektif komunitas internasional, khususnya ASEAN," tegas Rafendi. [SP/Elly Burhaini Faizal]