Arus Dunia Hukuman Mati

Mahkamah Agung (MA) mengubah vonis hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup bagi tiga warga negara Australia terpidana kasus narkotika. Terhadap putusan ini, seorang wartawan bertanya terkait ada tidaknya unsur intervensi Pemerintah Australia?

Pertanyaan lainnya, apakah putusan MA itu sikap menolak hukuman mati? Jika ya, mengapa terpidana mati lainnya tak mengalami hal serupa seperti kasus terorisme Amrozi. Lalu pantaskah Amrozi dieksekusi dan tiga WNA itu dieksekusi? Atau haruskah kejahatan terorisme dan narkotika dihukum mati?

Menjelang akhir tahun lalu, Sydney Morning Herald memberitakan Jaksa Agung Hendarman Supandji tak akan mengeksekusi Amrozi sebelum grasi diajukan. Secara otomatis, eksekusi terpidana mati warga negara Australia mengalami penundaan dan membuka peluang adanya pendekatan pemerintah Australia. Karena itu, pertanyaan di atas wajar muncul.

Masalahnya, apakah pendekatan itu bisa dibenarkan? Dalam hukum universal bangsa-bangsa, setiap negara berkewajiban untuk melindungi warganya dari hukuman yang tak adil. Negara A misalnya, diperkenankan untuk menolak permintaan negara B untuk mengekstradisi seseorang di negara A bila ia terancam hukuman mati. Indonesia pernah mengadakan pendekatan ke negara Saudi Arabia dan Malaysia agar membatalkan eksekusi WNI, meski akhirnya gagal.

Dari sudut PBB, sikap Hendarman Supandji menunda eksekusi Amrozi jelas sesuai Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50, 25 Mei 1984 (Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty) yang melarang pelaksanaan eksekusi untuk membatalkan pengajuan pengampunan atau perubahan hukuman.

Resolusi ini menyebutkan penerapan hanya berlaku; Pertama, bagi ‘kejahatan paling serius’, kategorinya sesuai tingkat konsekuensi yang sangat keji. Kedua, bila kejahatan diatur hukum positif (non-retroaktif). Hukuman lebih ringan berlaku bila aturan berubah. Ketiga, dengan larangan eksekusi anak berusia 18 tahun, perempuan hamil, ibu melahirkan, sakit mental/jiwa. Keempat, bila kesalahan pelaku sudah tak menyediakan sedikitpun celah yang meragukan. Kelima, sesuai keputusan hukum final dari persidangan yang fair. Keenam, setelah terpidana ajukan banding, pengampunan atau perubahan hukuman. Ketujuh, dengan metode yang sekecil mungkin menimbulkan rasa sakit.

Yang menarik, penundaan bahkan penolakan eksekusi terpidana bom Bali juga datang dari Australia yang warganya terbanyak menjadi korban. Tim Goodwin dari Amnesty International Australia mengatakan, mengingat kebiadaban bom Bali, sebagian masyarakat mungkin akan setuju dengan eksekusi. Tapi Goodwin mencontohkan keberanian mantan magistrate Adelaide, Brian K Deegan yang anaknya terbunuh dalam peledakan bom di Bali. Deegan menolak untuk mendukung hukuman mati bagi pelaku bom Bali.

Deegan menulis "The Bali bombers who murdered my son last October are evil extremists, but they don’t deserve the death penalty. I have no problem with the idea that [they] should remain in prison for the rest of their lives. But the prospect of their judicial murder is something I want no part of." (Para pelaku bom Bali yang membunuh anak saya Oktober silam adalah ekstremis, mereka tak perlu mendapat hukuman mati. Saya juga tak masalah dengan penjara seumur hidup. Tapi peluang terbunuhnya pengadilan mereka yang saya ingin tak boleh ada.")

Begitu pula Susi Miller, keluarga dari keluarga 26 warga negara Inggris korban bom Bali. Susi yang kehilangan saudaranya berkata; "We’re extremely upset that he’s been condemned to death. It will simply make him a martyr, and that doesn’t bring justice for all those who were killed by the bomb." ("Kami sangat kecewa dia (pelaku pengeboman) dihukum mati. Itu justru akan membuatnya seperti pahlawan, dan itu berarti tak ada keadilan bagi siapapun yang terbunuh karena pengeboman itu.")

Dua pandangan orang Australia ini menjelaskan pada kita bahwa kekesalan mereka atas ledakan bom yang menewaskan keluarganya tak membuat mereka lantas ingin agar pelakunya mati. Tentu hal ini tak mudah dan mungkin jarang ditemui. Lalu apa sikap terbaik kita menyikapi penerapan hukuman mati yang demikian? Hingga sekarang tercatat setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara. Anehnya 94 persen angka eksekusi terjadi hanya di 4 negara; Cina (1.770 orang), Iran (94), Arab Saudi (86), dan Amerika Serikat (60). Sekitar 25 negara mengeksekusi 1.591 terpidana.

Secara geografis meningkat meski jumlah eksekusi menurun. Diperkirakan masih terdapat 20 ribu orang di dunia dalam antrean eksekusi. Cina rekor tertinggi, lebih tinggi dari total semua negara. Bila ukurannya jumlah eksekusi per populasi, Singapura rekor tertinggi (6,9 eksekusi/satu juta penduduk). Di Cina kini terjadi sebuah reformasi hukum progresif. Jika hukuman mati dihentikan, negara komunis ini menyusul daftar 128 negara-negara lain baik yang mengklaim negara agama maupun sekuler menghapus hukuman mati, meninggalkan 69 negara pro-hukuman mati.

Di tengah arus dunia seperti itu, masihkah kita mengisolasi diri untuk terus menerapkan hukuman mati di tengah sistem peradilan yang belum tereformasi dan mandiri? Bukankah hak hidup adalah hak setiap manusia yang diberikan langsung oleh Sang Pencipta dan tak seorangpun, termasuk negara berhak mencabutnya? Bukankah hak itu telah dikukuhkan menjadi hak konstitusional setiap warga negara Indonesia?