SKB Bertentangan Dengan Konstitusi

Jakarta – Sejumlah LSM pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) menilai Surat Keputusan Bersama tiga Menteri terkait Ahmadiyah melanggar konstitusi. SKB ini juga dinilai sangat multitafsir dan bisa menimbulkan konflik baru.

Pendapat itu disampaikan dalam jumpa pers bersama sejumlah LSM, seperti Kontras, Demos, HRWG, KRHN dan lainnya di kantor Kontras, Jl Borobudur, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (10/6/2008).

“SKB 3 menteri secara konstitusi tidak mengikat kepada masyarakat luas, karena dalam UU tidak mengatur soal SKB,” kata Koordinator Kontras Usman Hamid.
Oleh sebab itu, lanjut Usman, SKB tersebut bertentangan dengan konstitusi UUD. Selain itu, kebijakan yang dikeluarkan melalui SKB ini tidak akan bisa mengendalikan terjadinya aksi kekerasan.

Menurut Usman, selain melanggar UUD 1945, SKB juga melanggar UU No 12/2005 tentang Pengesahan Konvenan Hak-hak Sipil dan Politik. “Terbitnya SKB bisa dilihat sebagai produk dari proses tawar menawar politik pemerintah dalam menyikapi tuntutan pembubaran Ahmadiyah. Seharusnya pemerintah tegas untuk pisahkan proses hukum atas aksi kekerasan di Monas dengan mengeluarkan kebijakan terhadap Ahmadiyah,” ujarnya.

Usman juga mengatakan, dasar hukum penerbitan SKB yaitu UU No 1 PNPS 1965 tidak lagi relevan. Sebab, produk UU itu merupakan produk otoritarianisme yang bersemangat mengekang kebebasan beragama.
“Sementara SKB sendiri tak dikenal dalam atau urutan perundang-undang yang berlaku dalam UU No 10/2004,” lanjutnya.
Sementara itu, mantan anggota Komnas HAM MM Billah menyatakan, ada catatan keluarnya SKB. Isinya yang meliuk-liuk, tidak jelas, sehingga bisa menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. “Dan ini bisa jadi perebutan penafsiran dan bisa mengarah pada konflik fisik atas konflik penafsiran ini,” ungkapnya.

Untuk itu, Billah menegaskan, seharusnya SKB tidak dikeluarkan. Dari sisi HAM dan politik HAM serta instrumen internasional disebutkan bahwa agama merupakan hak individu yang melekat dan tidak bisa ditangguhkan oleh siapa dan apappun.

“Yang minoritas dan mayoritas punya hak yang sama, tapi soal keyakinan agama dan pendapat tidak bisa dipaksakan, nah itu diatur. Kalau mau SKB itu adil, mayoritas agama tidak boleh paksakan ideologi dan tafsir agamanya kepada kelompok lain. Jadi SKB melanggar fairness,” imbuhnya.

Hal senada juga diungkapkan Thamrin Amal Tamagola bahwa tidak tertutup kemungkinan di kemudian dari pemikiran kritis seseorang pun akan dibekukan.