Kasus Talangsari: Kejagung Abaikan Putusan Final MK

[JAKARTA] Permintaan Kejaksaan Agung (Kejagung) agar dibentuk pengadilan hak asasi manusia (HAM) Ad Hoc dalam penyidikan pelanggaran HAM Talangsari Lampung dinilai telah mengabaikan putusan uji materi (judicial review) Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu juga mengindikasikan Kejagung hendak lepas tangan dari penyelesaian kasus tersebut.

"Selama ini Kejagung berkutat di sini dengan argumentasi bahwa UU No 26 Tahun 2000 mengharuskan adanya pengadilan HAM Ad Hoc dulu. Padahal, penegakan UU hasil reformasi harus tetap dijalankan," kata Komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM Kabul Supriadi seusai peluncuran buku peringatan Tragedi Priok 1994 di Jakarta, Kamis (11/9).

Menurutnya, alur pembentukan pengadilan itu dimulai dari penyelidikan Komnas HAM, dilanjutkan Kejagung, kemudian diserahkan ke DPR lalu disampaikan ke presiden. Presiden melalui keputusannya membentuk pengadilan tersebut.

"Komnas HAM patuh pada tugas penyelidikan dan akan jalan terus untuk itu. Silakan ditindaklanjuti dan kita menunggu sikap Kejagung dan DPR. Sayangnya, penegakkan hukum kita selalu terkendala masalah teknis," ujar mantan hakim pengadilan HAM Ad Hoc ini.

Dia menegaskan, kondisi tersebut menunjukkan Kejagung tidak menganggap final putusan MK pada Februari lalu. Dalam sidang uji materi UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 43 ayat 2, MK memutuskan menghapus kata "dugaan" dalam penjelasan UU itu. MK menyatakan, dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, DPR tidak memiliki kewenangan untuk melakukan atau menyimpulkan penyelidikan kasus pelanggaran HAM, dan harus memperhatikan hasil penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Kejagung sebagai institusi berwenang

Sebelumnya, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengatakan bahwa upaya Komnas HAM membongkar kasus Talangsari Lampung, apakah sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak, sangat bergantung pada DPR.

"Kalau kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau itu sudah ada ketetapan melalui undang-undang oleh DPR baru bisa dilakukan persidangan. Komnas HAM itu memang mengumpulkan bahan tetapi tergantung DPR, apakah akan mengeluarkan UU untuk penetapan Talangsari itu," katanya.

Menurut dia, DPR (1999-2004) hanya menetapkan kasus Timor Timur dan Tanjung Priok sebagai pelanggaran HAM berat. Dan itu ditetapkan dalam undang-undang soal retroaktifnya.

"Kalau semua yang retroaktif itu dipermasalahkan, bisa macam-macam. Jadi yang retroaktif pun harus ditetapkan, kasusnya di mana, kapan, dan apakah terjadi pelanggaran HAM berat," ujarnya.

Terkait dengan itu, menurut dia, Peristiwa Talangsari itu adalah peristiwa penyerangan bersenjata. Bahkan sejumlah penyerang membunuh seorang pamen (perwira menengah, Red) polisi dan beberapa bintara TNI.

"Sehingga saat itu ada tindakan militer yang sekarang dinilai sebagai pelanggaran HAM berat. Tetapi waktu itu dianggap sah karena ada perlawanan bersenjata, bahkan perlawanan yang ingin ubah dasar negara karena itu menyangkut kedaulatan. Pada waktu itu dan sekarang pun dianggap sebagai makar. Yang ingin ubah dasar negara itu dianggap makar," paparnya.

Berdasarkan konteks itu, maka tindakan militer itu dianggap sah karena yang diserang adalah sipil bersenjata dan membunuh aparat negara yaitu, polisi dan tentara. Dan yang lebih fundamental, katanya, adalah keinginan mengubah dasar negara. [ASR/A-21]