Pesan Bersayap Iklan Partai Keadilan Sejahtera

Setahun menjelang Pemilu 2009, partai-partai politik memasang iklan. Umumnya iklan ini menggunakan momentum hari raya keagamaan hingga momen hari besar nasional. Tak ada gejolak atau sesuatu yang luar biasa. Baru belakangan iklan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memicu protes. Protes ini terkait dengan pemuatan gambar KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Soekarno, Bung Tomo, Muhammad Natsir, dan Soeharto. Pesan di akhir iklan menyebut mereka sebagai guru bangsa dan pahlawan. Apakah ini iklan politik atau semata-mata iklan peringatan Sumpah Pemuda atau Hari Pahlawan? Pertanyaan lain, apakah PKS menganggap Soeharto pahlawan?

Protes datang dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Gerakan Pemuda Nahdlatul Ulama mempermasalahkan iklan PKS yang menampilkan tokoh pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari. Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah merasa pemuatan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, dalam iklan politik PKS di televisi akan merugikan Muhammadiyah.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin menyesalkan tindakan PKS yang dianggap tidak etis karena mendompleng gambar KH Ahmad Dahlan dalam iklan politik. KH Ahmad Dahlan memang bukan hanya milik Muhammadiyah, tapi juga milik umat Islam yang lain, bahkan milik seluruh rakyat Indonesia. Tapi dia juga adalah pendiri dan tidak bisa dilupakan dari Muhammadiyah. Sejak awal, kata Din, Muhammadiyah tidak mempunyai hubungan secara struktural maupun organisasi dengan partai politik lain.

Ketua PBNU KH Masdar Farid Mas’udi menilai penyebutan KH Hasyim Asy’ari di iklan PKS sebagai “manipulasi politik” terhadap simbol NU untuk menipu kaum nahdliyin pada khususnya dan publik pada umumnya. PKS dianggap tidak paham etika politik dan berupaya manipulatif dengan menggunakan nama KH Hasyim Asy’ari. Padahal PKS tidak memiliki kaitan apa pun dengan KH Hasyim Asy’ari.

Meski dikritik, PKS punya alasan lain. PKS menilai iklan itu sebagai bentuk apresiasi terhadap tokoh nasional. PKS punya hak memberikan apresiasi kepada tokoh nasional. Alasan menayangkan KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan dalam iklannya adalah menghargai pemikiran pendiri NU dan Muhammadiyah tersebut. PKS memang tak memiliki kaitan historis maupun ideologis dengan dua tokoh itu. PKS hanya mengajak masyarakat supaya peduli terhadap pahlawan nasional, menghormati, dan bisa memberikan teladan.

Sementara itu, pengamat politik Eep S. Fatah menilai strategi politik PKS menampilkan figur nasional, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, dan Soekarno, dalam iklan kampanyenya tak melanggar etika. Sebagai tokoh nasional, ketiga figur itu telah menjadi “milik” bangsa. Menurut Eep, semua kalangan dapat melakukan hal yang sama dengan menampilkan tokoh nasional dalam iklan politiknya. Tokoh-tokoh itu tak lagi tersekat pada lintas kelompok dan melampaui batas-batas ideologis. Eep mengartikan PKS bisa dijadikan tempat dari semua ideologi untuk menyalurkan aspirasi.

Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, merasa tak ada masalah dalam iklan politik PKS. Hal itu karena kedua tokoh yang muncul adalah pahlawan nasional, dan itu sangat positif. Anak-anak dan masyarakat dapat belajar sejarah dari iklan. Bagaimana kita memahami polemik di atas?

Dari sudut pandang demokrasi dan hak asasi manusia, iklan politik adalah kebebasan untuk mengekspresikan pendapat, pikiran, dan keyakinan suatu partai atau kelompok yang dijamin konstitusi. Pagar pembatasnya adalah tidak boleh menyebarkan kebencian pada yang lain atau menghasut tindak kekerasan. Persoalannya menjadi lain jika dilihat dari sudut kontestasi politik. Nah, dengan sudut pandang ini, kita bisa memahami reaksi protes ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang ditujukan kepada PKS.

Pertama, iklan itu adalah iklan politik karena ditujukan untuk kepentingan politik. Karena itu, ia menempati bidang kontestasi yang mempertemukannya dengan kelompok atau partai-partai lain. Di titik ini setiap partai memiliki klaim atas tradisi dan pendasarannya sendiri. Tradisi ini merupakan bagian dari kekhasan serta identitas perjuangan setiap partai atau kelompok. Dalam konteks kontestasi, pengambilan identitas partai atau tradisi yang lain selalu diartikan sebagai taktik untuk mengurangi yang lain. Dari sudut ini, iklan PKS itu bersifat ofensif.

Kedua, ini yang lebih substansial, yakni penempatan Soeharto sebagai pahlawan dan seolah sejajar dengan pahlawan nasional atau tokoh bangsa seperti Muhammad Natsir, Bung Tomo, Soekarno, KH Ahmad Dahlan, serta KH Hasyim Asy’ari. PKS sebagai partai yang lahir dari reformasi terikat oleh nilai moralitas politik reformasi. Moralitas politik itu adalah mengadili Soeharto dan kroni-kroninya atas berbagai praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) selama memerintah di era Orde Baru. Inilah mandat Ketetapan MPR RI Nomor 11 Tahun 1998 yang harus ditegakkan semata-mata demi keadilan.

Keadilan adalah amanah konstitusi yang menjadi dasar pembentukan masyarakat, bangsa, dan negara Republik Indonesia. Kekuasaan negara berdasarkan konstitusi itu harus dijalankan secara tegas, konsisten, dan ditujukan untuk kemaslahatan publik, bukan untuk kepentingan perseorangan atau kelompok.

Dengan dasar itu, tak ada status resmi kepahlawanan untuk mantan presiden Soeharto. Tak ada abolisi dari presiden. Tak ada deponir dari Jaksa Agung. Penuntutan pidana tak berlanjut ke pengadilan, bukan karena tak ada bukti hukum, melainkan karena alasan kesehatan. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid, representasi PKS, meminta agar ketetapan MPR tersebut dilaksanakan. Selanjutnya, pemerintah mengajukan gugatan perdata terhadap yayasan-yayasan Soeharto yang diduga hasil KKN.

Kejahatan di masa lalu telah mengakibatkan jatuhnya korban manusia, kemerosotan moral, pembodohan, dan kebangkrutan ekonomi. Di titik ini, rakyat yang menjadi korban setiap tindak kejahatan itu berhak memperoleh dan menikmati keadilan yang telah lama tertunda. Adalah moralitas hak korban untuk memaafkan Soeharto, bukan di tangan negara, apalagi partai.

Sampai di sini, iklan politik PKS membawa pesan bersayap, antara mengepakkan sayap antikorupsi dan simbol KKN. Ke depan, partai harus lebih mengedepankan platform/manifesto dalam iklan politiknya, bukan mengandalkan figur-figur tertentu untuk meraih suara. Kesetiaan pada ideologi platform atau manifesto itulah yang dinilai oleh rakyat. *