Meneropong Palestina dari Inggris

Islam adalah agama yang mengajarkan manusia untuk menjalankan hidup bermartabat, menegakkan keadilan dan perdamaian. Kewajiban kita, menjadi pemimpin-pemimpin bumi dalam panji-panji nilai itu, baik di negeri kita masing-masing maupun memperjuangkan suara-suara kaum tertindas di Gaza, agar dihormati dan didengarkan.

Begitu pesan khotbah di Inggris. Sudah beberapa pekan terakhir ini saya melaksanakan shalat Jumat di Inggris, salah satu negeri yang menjadi simbol peradaban barat. Tema khotbah selalu langsung terfokus pada krisis kemanusiaan di Gaza, Palestina. Udara dingin Inggris saat itu seakan mengembuskan spirit persaudaraan universal hingga menusuk tubuh dan tulang.

Khotbah-khotbah menyerukan dunia menghentikan serangan militer Israel ke Gaza. Menghentikan cepatnya pertumbuhan jumlah korban dari hari ke hari. Islam tak membenarkan tindakan semacam itu. Bukan saja karena menimbulkan kerusakan di muka bumi, tapi juga menghilangkan nyawa dan melukai integritas fisik-jiwa manusia. Pengkhotbah menyarankan agar ada aksi nyata jamaah sidang Jumat, menyurati pemerintahan Inggris mengambil peran dalam mengakhiri krisis Gaza hingga menyalurkan dana bantuan kemanusiaan.

Di luar masjid, ada begitu banyak aksi solidaritas digelar mahasiswa maupun warga biasa. Di Universitas Nottingham, mahasiswa berdoa, menggelar aksi damai, dan menyebarkan selebaran seruan memboikot produk-produk Israel dengan mengutip pernyataan Presiden Majelis Umum PBB, Miguel D’Escoto Brockman: a non violent campaign of boycott, divestment and sanctions topressure Israel to end its violations. Ide ini bisa menjadi alternatif bagi solidaritas berbagai lapisan masyarakat di Indonesia yang memprotes aksi militer Israel. Ide Brockman merujuk pengalaman boikot terhadap Rezim Apartheid Afrika Selatan.

Ratusan tiang kayu berukuran 40 cm tertancap di halaman perpustakaan kampus. Jumlah tiang berwarna merah, hitam, putih, dan hijau sebagai pertanda lambang kedaulatan Palestina ini, merefleksikan tipologi serta jumlah korban; laki-laki, perempuan, hingga anak-anak. Tampaknya, tiang-tiang itu akan terus bertambah dan menutupi luasnya halaman kampus yang hijau ini. Para akademisi dan intelektual Inggris menggelar rapat, pertemuan, seminar, hingga menggalang petisi untuk Gaza seperti disuarakan Ahmad Syafii Maarif.

Di London, orang-orang Yahudi di Inggris pun ikut menggelar aksi. Pada spanduk mereka mendukung kemerdekaan dan keadilan untuk Palestina. Jews for Justice for Palestinian. Belum lama ini pun, kaum perempuan menggelar aksi solidaritas untuk Irak. Dalam gaun serbahitam, mereka angkat suara terhadap 2200 warga Irak yang kini menjadi pengungsi di tanah sendiri. Diperkirakan, sekitar 75 persen di antaranya adalah perempuan dan anak berusia di bawah 12 tahun. Aksi Women in Black against militarism in Iraq ini menuntut dilibatkannya perempuan dalam perdamaian dan rekonstruksi Irak. Aksi-aksi ini seolah melengkapi kegamangan protes di negeri-negeri Timur Tengah yang dirilis Human Rights Watch, 21 Januari lalu.

Sebagai solidaritas dunia, perhatian-perhatian ini adalah lambang kebenaran di tepi Gaza, Palestina. Namun demikian, sejauh mana ini didengarkan?

Di Jenewa, Swiss, Dewan HAM baru saja mengeluarkan keputusan untuk mengirimkan tim penyelidik ke Gaza. Keputusan ini didasarkan dugaan kuat terjadinya pelanggaran hukum internasional tentang HAM dan humaniter.

Sejak berakhirnya gencatan senjata Israel dan Hamas pada 19 Desember 2008, korban jiwa terus berjatuhan, khususnya warga sipil wilayah Jalur Gaza. Hari pertama saja sudah melebihi 200 korban jiwa, angka tertinggi untuk jumlah jatuhnya korban per hari dalam sejarah konflik Palestina-Israel. Jumlah itu terus merambat naik melewati angka 500-an, ditambah hancurnya fasilitas-fasilitas publik non-militer, seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah. Lebih parah lagi, akses bantuan humanitarian tertutup karena blokade pasukan Israel.

Inilah yang oleh pelapor khusus (special rapporteur) PBB untuk situasi HAM di wilayah Palestina, Prof Richard Falk, dinyatakan sebagai ‘serangan yang masif dan parah’ dari Israel dan melanggar hukum humaniter internasional (Konvensi Geneva). Hukuman kolektif berupa serangan membabi buta terhadap 1,5 juta penduduk di Jalur Gaza oleh Israel, menyalahi prinsip proporsionalitas karena gagal membedakan warga sipil dengan kombatan. Keadaan inilah yang kini akan diselidiki secara resmi oleh Dewan HAM PBB.

Penyelidikan ini bukan penyelidikan biasa, sebab diputuskan dalam sidang istimewa Dewan HAM (dulu Komisi HAM). Pengalaman sebelumnya, penyelidikan hasil sidang istimewa berujung digelarnya Mahkamah Internasional untuk mengadili penjahat perang. Misalnya, Mahkamah Kejahatan Internasional (MKI) untuk Bekas Yugoslavia dan MKI untuk Rwanda (ICTR). Penyelidikan kejahatan di Timor Timur pascajajak pendapat juga diputuskan sidang istimewa, namun Mahkamah Kejahatan Internasional untuk Timor Timur belum juga digelar.

Akankah PBB berhasil menggelar MKI untuk Gaza, Palestina? Kredibilitas PBB kembali dipertaruhkan. Krisis Gaza merupakan masalah kemanusiaan dan menjadi tanggung jawab seluruh komunitas internasional untuk mengatasinya.

Sayangnya, Dewan Keamanan PBB gagal menghentikan kekerasan yang terjadi karena veto AS dan Inggris. Sekali lagi, negara adidaya memberi contoh buruk bagaimana penyelesaian multilateral yang legitimate menjadi tak menginjak bumi.

Padahal, setiap konflik bersenjata harus mengacu hukum humaniter internasional yang mengikat, baik pemerintah Israel maupun kelompok Hamas. Kedua belah pihak harus bisa membedakan antara sasaran yang diperbolehkan (kombatan dan fasilitas militer) secara proporsional dengan objek yang diharamkan (para penduduk sipil dan fasilitas publik nonperang).

Pengabaian atas norma-norma universal ini merupakan kejahatan perang (war crimes), bahkan bisa menjadi kejahatan kemanusiaan, kategori kejahatan paling serius di bawah hukum internasional. Pembiarannya menjadi contoh buruk bagi problem yang sama di tempat lain di muka bumi. Para penjahat perang dan penjahat kemanusiaan akan terus merasa leluasa melakukan kekerasan.

Dunia, menunggu lahirnya pemimpin manusia yang sanggup membawa perubahan dan melahirkan solusi damai yang autentik di Jalur Gaza dan di bagian bumi lainnya. Agar, di mana pun manusia hidup dalam kibaran panji-panji martabat, keadilan, dan kedamaian.