RUU Wajib Militer Tidak Mendesak Dibahas

RUU Wajib Militer Tidak Mendesak Dibahas

Banda Aceh – Rancangan Undang-Undang (RUU) Komponen Cadangan Pertahanan Negara (KCPN) atau lebih dikenal dengan RUU Wajib Militer dinilai tidak mendesak untuk dibahas tetapi sebaliknya RUU tersebut akan berpotensi memunculkan persoalan jika diterapkan.  

Hal itu disampaikan dalam diskusi publik membedah RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara (KCPN) dengan tema Wajib Militer di Indonesia, Perlukah? yang dilaksanakan oleh Imparsial Jakarta bekerjasama dengan KontraS Aceh pada Kamis, 5 Februari 2009 di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh.

Swandaru, peneliti Imparsial yang menjadi pembicara pada diskusi tersebut mengatakan bila mengacu pada UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, esensi komponen cadangan adalah untuk membantu komponen utama (TNI) karena adanya keterbatasan sebagai komponen utama dan adanya situasi darurat (ancaman eksternal). “Namun pertanyaannya, apakah TNI kita lemah? Jika lemah, bukankah lebih baik terlebih dahulu memperkuat TNI daripada membentuk Komponen Cadangan”.

Hal yang sama juga disampaikan oleh pengamat militer, Saiful Haq, MDM yang mengatakan apa ancaman eksternal yang sedang dihadapi Indonesia sehingga dibutuhkan pembentukan segera komponen cadangan. “Dalam konteks sosial, politik dan ekonomi Indonesia, pembentukan RUU ini tidak mendesak. Profesionalitas TNI justru masih lebih mendesak, apalagi jumlah komponen cadangan saat ini jika dihitung dari Kepolisian, Satpam dan Pegawai Negeri Sipil sudah jauh melebihi kebutuhan. Ini yang harus dioptimalkan. Selain itu TNI sebagai komponen utama pertahanan negara, juga belum didorong untuk melakukan restrukturisasi secara optimal, ketika TNI direstrukturisasi dirancang sesuai tugas pokoknya, maka sebaiknya kita bisa memiliki TNI dengan kemampuan tempur yang baik, karena tidak lagi mengurusi bisnis dan politik”.

Saiful melanjutkan, bila RUU ini diterapkan juga akan memunculkan sejumlah persoalan, diantaranya persoalan anggaran belanja negara untuk pertahanan dan persoalan paradigma seperti tafsir tentang nasionalisme, kedaulatan dan bela negara. ”Anggaran yang tersedia sebaiknya dialihkan untuk kesejahteraan prajurit TNI, disini Pemerintah harus melihat kebutuhan efisiensi dan efektifitas RUU ini”, imbuh alumni Studi Pertahanan ITB ini.

Teuku Ardiansyah, Direktur Kata Hati Institute mengatakan masalah keamanan dan pertahanan negara tidak lagi bertumpu pada kedaulatan teritori tapi juga harus memperhatikan kedaulatan individu dalam artian kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan. Sehingga komponen cadangan nantinya diarahkan untuk ikut serta berpartisipasi dalam memenuhi unsur-unsur keamanan insani.

RUU KCPN dirancang oleh Departemen Pertahanan tahun 2006 dan rencana pembuatan regulasi politik ini telah masuk menjadi bagian dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2008. Para pembicara sepakat bahwa masih terdapat permasalahan substansi dalam RUU Komponen Cadangan, dalam skala prioritas masih banyak UU yang lebih penting untuk didahulukan seperti UU Peradilan, UU Intelijeln dan lainnya. (KA)

Konfirmasi:
Saiful Haq
Swandaru