Dua Wajah Indonesia

B Josie Susilo Hardianto

Kutundukkan kepalaku

Kepada semua kalian para korban

sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk

kepada penindas

tak pernah aku membungkuk

aku selalu tegak

Puisi yang dibuat Wiji Thukul itu disablon pada kaus hitam yang siang itu dikenakan Umar. Umar adalah korban kasus 1965. Sebagai pegawai bidang politik pada Pemerintah Provinsi Lampung kala itu, Umar dituduh terlibat dalam gerakan PKI. Tuduhan itu tidak hanya menyebabkan ia kehilangan pekerjaan, tetapi juga keluarga. Ia sempat dipenjara dan saat ini hidup sebatang kara di Jakarta.

Dalam jagat pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, Umar dan Wiji Thukul adalah korban. Februari 1998 adalah masa akhir keluarga Wiji Thukul mendengar kabar tentang dirinya. Kepada adiknya, Wahyu Susilo, Wiji menyatakan hendak pulang ke Solo. Namun, setelah itu hingga kini Wiji tidak pernah pulang ke Solo. Tak ada kabar lagi tentang dirinya. Ia hilang.

Wiji adalah penyair dan juga aktif memperjuangkan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Namun, oleh pemerintah kala itu, ia justru diposisikan sebagai musuh. Selepas meletusnya peristiwa 27 Juli 1996, Wiji Thukul diburu aparat karena dituduh bertanggung jawab atas kerusuhan tersebut. Sebagai seseorang yang aktif dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD), ia oleh rezim kala itu adalah bagian dari kambing hitam.

Baal

Siang itu, Kamis (12/2), seperti Kamis-Kamis sebelumnya, Umar mempersiapkan diri untuk bergabung dalam acara kamisan di depan Istana Negara. Kali ini adalah kamisan ke-99. Dalam acara itu, foto Wiji Thukul adalah salah satu dari foto-foto korban pelanggaran HAM yang setia menemani Umar dan keluarga korban.

Kamisan, bagi korban dan keluarga korban, adalah salah satu upaya agar pemerintah juga masyarakat Indonesia tidak lupa atas berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Lebih dari itu, aksi diam mereka merupakan seruan agar pemerintah bertanggung jawab atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang hingga kini belum dituntaskan.

Namun, hingga aksi yang ke-99, pemerintah tetap abai. ”Pemerintah sudah baal, mati rasa,” kata Suciwati, istri mendiang pejuang HAM, Munir.

Janji penuntasan tinggallah janji, tak pernah dipenuhi. Kasus pelanggaran HAM, seperti kasus Talangsari yang sudah selesai diselidiki oleh Komnas HAM, kembali terkatung-katung di Kejaksaan Agung. Nasibnya sama seperti kasus-kasus lain sebelumnya, Wasior-Wamena.

Dan itu terjadi pula dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Terakhir, korban luberan lumpur PT Lapindo Brantas gigit jari. Pada saat warga telah kehilangan pekerjaan, harta benda, akar budaya, dan masa depan, pemerintah semakin tampak kalah oleh kekuatan modal.

Dua wajah

Tentang pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia, wajah pemerintah adalah wajah yang penuh polesan, penuh dusta. Di depan korban, Presiden menjanjikan penuntasan kasus Talangsari, tetapi saat ini setelah Komnas HAM selesai dengan penyelidikannya, kembali Kejaksaan Agung yang enggan menyidiknya.

Alasannya tetap sama, kejaksaan tidak mau melanggar ketentuan prosedural, harus ada putusan politik dulu di DPR. Padahal Mahkamah Konstitusi telah memutuskan untuk tidak lagi demikian. Berbagai cara dan desakan korban dan keluarga tidak mampu menggerakkan institusi hukum itu.

Atas nama undang-undang pemenuhan hak korban kembali diabaikan. Pembiaran seperti itu tentu saja bertolak belakang dengan semangat yang selalu ditunjukkan Indonesia di muka dunia, wajah yang penuh perhatian dan keberpihakan pada penegakan hak asasi manusia.

Dua konvensi dasar hak asasi manusia yaitu sipil dan politik serta konvensi hak ekonomi, sosial, dan budaya ditandatangani. Itu menjadi bagian yang kemudian meletakkan Indonesia sebagai salah satu negara, khususnya di Asia, yang memberi perhatian serius pada isu hak asasi manusia. Namun, pada saat yang sama, kepada warganya sendiri pembiaran terus berlanjut. Tak satu pun kasus pelanggaran HAM selesai, bahkan korban kembali berjatuhan.

Rencana aksi nasional untuk meratifikasi beberapa instrumen hak asasi manusia pun molor. Di antaranya adalah Statuta Roma, Konvensi Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, Protokol Opsional Konvensi Antipenyiksaan, serta Protokol Opsional Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

Realitas kematian dan penderitaan para korban dihadapi dengan perhatian abal-abal. Tidak mengherankan, impunitas menjadi lestari. Kepala Divisi Pemantauan Impunitas dan Pemenuhan Hak Korban Kontras Yati Andriyani menyatakan bahwa kondisi itu memungkinkan mereka yang terindikasi terlibat dan seharusnya bertanggung jawab atas kasus pelanggaran HAM dengan senyum justru memperoleh ruang dan melenggang menuju tampuk kekuasaan politik.

Layak jika kemudian, Suciwati Sumarsih, Yeti, Umar, dan korban pelanggaran HAM yang lain mempertanyakan, apa yang akan diraih Indonesia jika mereka dibiarkan memimpin. Karena faktanya, semasa diberi tanggung jawab untuk memimpin, mereka gagal. Mereka yang tidak terlibat tetapi yang saat ini ada dalam birokrasi pun terkesan abai dan membiarkan korban dan keluarga korban bergulat dalam ketidakpastian, kapan keadilan akan terwujud.

Kredibilitas

Memang tidak ada yang sempurna, tetapi di tengah krisis yang sedemikian besar dihadapi Indonesia, warga membutuhkan seseorang yang memiliki kredibilitas yang jauh lebih baik dari yang mereka tawarkan.

Dua wajah dan sikap yang cenderung mengabaikan menjadi catatan tegas bagi masyarakat untuk menilai. Karena, pemilu adalah masa untuk mengevaluasi, bukan pesta demokrasi.