Korban Lapindo Bertahan di Jakarta untuk Bertemu SBY

JAKARTA, KOMPAS.com – Sebanyak 200 korban lumpur PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, sampai Minggu (22/3) sudah 12 hari bertahan di Jakarta, untuk memperjuangkan haknya sebagaimana dijanjikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan tertuang dalam Peraturan Presiden RI Nomor 14 tahun 2007, tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.

"Kami akan bertahan di Jakarta, sampai bisa bertemu langsung dengan Presiden SBY. Presiden SBY harus tahu kenyataan yang sesungguhnya dialami ribuan masyarakat korban Lumpur Sidoarjo. Kami menduga, laporan yang diberikan pembantu Presiden ke Presiden SBY tak sesuai dengan kenyataan di lapangan," kata wakil warga korban lumpur Paring Waluyo, ketika berkunjung ke redaksi Kompas , Minggu (22/3) malam di Jakarta. Ada 10 orang perwakilan korban lumpur yang datang ke Kompas.

Korban Lumpur tersebut selama di Jakarta bermalam di Kantor Komnas HAM, Kontras, dan YLBHI Jakarta. Diakui, untuk ke Jakarta korban Lumpur ngutang. Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan selama di Jakarta terpaksa mengemis. Kalau ja nji sisa yang 80 persen segera dibayarkan tunai, warga tak akan terbelit utang dan tak harus mengemis.

Paring Waluyo menjelaskan, Kamis (19/3) perwakilan warga sudah bertemu juru bicara Presiden SBY dan mengajukan surat resmi untuk minta audiensi dengan Presiden SBY. "Kepastian untuk audiensi belum ada, sehingga warga akan terus bertahan sampai Presiden SBY mau menerima. Warga korban Lumpur Sidoarjo yang masuk dalam peta, sangat menunggu hasil perjuangan ke Jakarta guna bertemu Presiden SBY ini," tambahnya.

Menurut dia, yang mengkhawatirkan warga korban Lumpur saat ini adalah, pembayaran 80 persen dengan cash, ternyata dicicil oleh PT Minarak Lumpur Lapindo sebesar Rp 15 juta. Namun, dalam tandaterima yang dibubuhi materai, diterakan jumlah yang diterima sebagai lunas. Pembayaran pertama Rp 15 juta sudah jalan Maret 2009. "Kalau memang dicicil, maka Rp15 juta akan masuk lagi ke rekening warga, hingga bulan-bulan berikutnya sampai sisa 80 persen lunas. Kalau tidak, gejolak baru akan muncul," sebutnya.

Warga menuntut sisa 80 persen dibayarkan lunas, supaya uang yang diterima cukup berarti. "Kalau hanya dicicil Rp 15 juta per bulan, sementara kebutuhan sehari-hari tetap jalan tanpa ada sumber pendapatan, maka akan habis nutup utang selama ini. Bayangkan, sudah hampir tiga tahun ribuan warga hidup menderita, dan menunggu kepastian janji-janji pemerintah," papar Paring.

Paring Waluyo mengatakan, untuk penyelesaian 80 persen cash and resettlement korban Lumpur sesuai peta terdampak tanggal 22 Maret 2008, ada sekitar 2.000 orang korban Lumpur yang menyepakati hal ini. Namun, kenyataan di lapangan, rumah yang baru bisa diselesaikan sekitar 337 unit.

Sedangkan rumah untuk korban lainnya tak ada kepastian di lokasi mana dan kapan bisa mereka peroleh kuncinya. Hal ini juga butuh kejelasan, soalnya kontrak rumah sejak 2006, sudah jatuh tempo tahun 2008. "Artinya, jika tak ada kepastian rumah, uang kontrak harus dibayarkan PT Minarak Lapindo," tandasnya.