Perdebatkan Isu Strategis

Jakarta, Kompas – Pemerintah sebaiknya tidak memperdebatkan lagi kapan seorang terpidana mati harus dieksekusi. Lebih baik, perdebatan diarahkan kepada isu strategis, yakni mendorong moratorium atau penghentian hukuman mati.

Hal tersebut disampaikan Indria Fernida, Wakil Koordinator I Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). ”Kejaksaan memang bisa beralasan melaksanakan tugas eksekusi, tetapi harus dipikirkan juga mengenai hak hidup setiap manusia,” katanya di Jakarta, Senin (30/3).

Secara terpisah, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga menyampaikan, kejaksaan sudah menerima pendapat hukum Mahkamah Agung (MA) terkait pelaksanaan eksekusi hukuman mati. Dalam pendapat hukum itu disebutkan, Kejaksaan Agung selaku eksekutor harus memberi waktu yang wajar kepada terpidana mati sebelum eksekusi dilakukan.

Oleh karena itu, kata Ritonga, Kejagung membentuk tim pengkaji untuk membahas dan menentukan waktu yang wajar bagi terpidana mati tersebut. Waktu itu diberikan kepada terpidana mati yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) atau grasi.

Berdasarkan catatan kejaksaan, saat ini ada 32 terpidana mati perkara narkotika dan obat-obatan terlarang yang ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Indria menambahkan, dari pendapat hukum MA itu dapat ditangkap kesan, pemerintah sangat berhati-hati menyikapi persoalan hukuman mati. Di satu sisi, pemerintah memang ingin menegakkan hukum. Namun, di sisi lain, pemerintah juga ingin menegakkan hak asasi manusia (HAM), yang menjamin hak hidup setiap manusia.

”Ketika dua institusi di Indonesia ini terkesan saling lempar soal keputusan eksekusi terpidana mati, mungkin sebenarnya bukan jalan itu yang harus diambil. Bukan hal itu yang diperdebatkan,” katanya. (idr)