Personel KPU Harus Diganti

Jakarta, KOMPAS.com – Pemilihan Umum Legislatif 2009 cacat, baik secara teknis manajemen maupun cacat determinasi politik. Supaya tidak terulang pada Pemilu Presiden 2009, partai-partai politik dan masyarakat harus mengawal perbaikan daftar pemilih yang digunakan. Ketujuh anggota Komisi Pemilihan Umum juga harus segera diganti.

Hal ini disampaikan para aktivis dan akademisi yang tergabung dalam Dewan Perubahan Nasional di Jakarta, Minggu (12/4). Para aktivis ini antara lain guru besar Ilmu Sosiologi Universitas Indonesia Tamrin Amal Tomagola, pakar komunikasi FISIP UI Effendi Ghazali, Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti, pengamat politik UI Boni Hargens, Fadjroel Rachman, Chalid Muhammad, Edwin dari Kontras, Adhie Massardi, dan Abdullah dari Indonesia Corruption Watch.

Pemilu 2009 dinilai cacat teknis karena menyebabkan hilangnya hak pilih jutaan warga akibat kekacauan daftar pemilih tetap (DPT) dan tertukarnya surat suara di banyak daerah.

Pemilu juga cacat determinasi politik karena pemerintah berkuasa terkesan membiarkan proses pemilu yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan prinsip pemilu jujur dan adil. Indikasinya sudah terlihat sejak pengajuan draf Undang-Undang Pemilu yang mendasarkan DPT pada data Departemen Dalam Negeri. Pembersihan daftar pemilih juga tidak dilakukan dengan benar.

”Masyarakat madani sudah mengingatkan potensi cacat Pemilu 2009 sejak pengajuan draf UU Pemilu. Bila pemilu saat ini cacat, civil society dan parpol bisa mempersoalkan secara hukum ke Mahkamah Konstitusi. Kalaupun secara realistis pengulangan pemilu tidak mungkin karena biaya besar, setidaknya DPT pemilu presiden harus dikawal ketat,” tutur Tamrin.

Sebaiknya, lanjut Tamrin, personel KPU segera diganti dengan yang lebih kapabel. Hal ini bisa dilakukan dengan inisiatif Komisi V DPR dengan persetujuan Presiden. Kalaupun tidak bisa dilakukan sebelum pilpres, penggantian ini harus dilakukan segera setelah pilpres.

Effendi Ghazali menjelaskan, saat ini terjadi perang persepsi yang dibangun dengan iklan masif dan survei-survei yang secara konsisten menyebutkan suatu partai mendapatkan perolehan suara tertentu. Karena itu, ketika ada warga atau partai politik yang memprotes proses pemilu yang cacat, diarahkan sebagai suara parpol kalah yang tidak legawa.

Menurut Effendi, sesungguhnya terdapat lebih dari 33 juta suara yang misterius akibat penggelembungan dan penghilangan hak pilih warga. Jumlah itu dihitung dari penambahan 23.265.401 pemilih, dari 148.000.041 pada DPT Pemilu Legislatif 2004 menjadi 171.265.442 pada DPT Pemilu Legislatif 2009 per 7 Maret 2009.

Adapun, rata-rata warga yang pada 2004 terdaftar dalam DPT dan pada 2009 kehilangan hak pilih mencapai 20 orang per tempat pemungutan suara (TPS). Untuk 519.920 TPS pada Pemilu Legislatif 2009, berarti terjadi penggembosan jumlah pemilih sebanyak 10.398.400.

”Apakah ini dilakukan secara sistematis atau by design, itu soal lain. Tetapi, terasa aneh ketika semua hasil quick count menunjukkan angka yang relatif sama sedangkan pada survei-survei sebelumnya berbeda-beda,” kata Effendi.

Boni Hargens menambahkan, pemilu cacat terdapat pada keseluruhan konstruksi dan semestinya menjadi persoalan pemerintah dan KPU. Kendati tak menegaskan ini sebagai hasil rekayasa, Boni mengatakan, bila ini hasil rekayasa, itu berarti dilakukan oleh orang yang sangat cerdas dan menguasai institusi politik.

Di Pusat Tabulasi Pemilu Nasional, Ketua Tim Teknologi Informatika Tabulasi Nasional Husni Fahmi menambahkan, sepanjang Sabtu (11/4) sudah terdapat puluhan percobaan penyusupan dan pengubahan data pada situs tnp.kpu.go.id. Namun, sejauh ini upaya penyusupan itu dapat diidentifikasi. (INA)