Memaknai Perjuangan Kartini Kini

Jakarta, Kompas – Merayakan Hari Kartini 21 April, Komnas Perempuan meminta seluruh jajaran pemerintah memperingati hari tersebut dengan kegiatan yang dirancang untuk mendalami perjuangan perempuan dan memberi penghargaan kepada perempuan di komunitas masing-masing.

Dengan demikian, peringatan Hari Kartini tidak lagi dilakukan dengan mereduksi Kartini menjadi sekadar simbol tradisionalisme perempuan dengan, misalnya, kewajiban berkebaya dan lomba masak-masak.

Komnas Perempuan memperingati Hari Kartini di kantor Komnas Perempuan, Selasa (21/4), dengan merayakan perjuangan perempuan penyintas (survivor) dari berbagai kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) dan penghilangan paksa yang sampai hari ini belum ada pertanggungjawabannya dari negara dan pelaku.

Mereka ada yang menjadi korban peristiwa 1965, Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua, konflik Poso, korban peristiwa Semanggi 1998, hingga Suciwati yang pelaku pembunuhan suaminya, Munir, hingga kini belum diungkap negara.

Siangnya, mereka dengan difasilitasi Komnas Perempuan, Kontras, Elsam, Ikohi, dan ICTJ berbagi pengalaman dengan dua anggota Ibu Plaza de Mayo, Argentina, yaitu Taty Almeida (79) dan Aurora Morea (84) yang berjuang dari 1976-2006.

Keduanya mewakili para ibu yang memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan ingatan untuk tidak melupakan penghilangan paksa terhadap 30.000 anak dan anggota keluarga mereka pada tahun 1976-1983. Mereka menutup kepala dengan kain segitiga bertuliskan nama anak mereka yang hilang dan memakai pin bergambar anak mereka.

Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan Azriana yang memandu diskusi pada pagi hari mengatakan, perayaan ini untuk memberi ruang kepada para ibu penyintas yang terus berjuang menegakkan HAM dan demokrasi.

”Gerakan perjuangan belakangan agak jenuh karena negara lambat menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM. Komnas Perempuan ingin memberi energi baru kepada para Kartini masa kini, para ibu penyintas ini, untuk meneruskan perjuangan mereka,” kata Azriana.

Kekerasan militer

Tinneke Rumkabu (66) dari Desa Anggraide, Biak Numfor, Papua, misalnya, menjadi korban kekerasan militer karena dituduh membantu gerakan separatis. Para perempuan juga menjadi korban kekerasan dari komunitas dan keluarga yang menganggap perempuan korban ini membawa aib.

Ny Netty (45), ibu dua putri, kehilangan suaminya, kepala Desa Peleru, Morowali, Sulawesi Tengah, dalam konflik Poso. Meskipun pengadilan telah mengadili pelaku, konflik meninggalkan persoalan keluarga yang jatuh miskin dan anak tidak bisa sekolah karena kehilangan ayah.

Taty Almeida dan Aurora Morea mengajak para ibu untuk terus memperjuangkan pencarian keadilan dan kebenaran dengan terus menanyakan keberadaan anggota yang hilang.

”Kita tidak boleh berhenti. Anda sudah 10 tahun berjuang. Yang menggerakkan kami adalah kecintaan kepada anak-anak kami,” kata Taty yang kehilangan anak lelakinya, Alejandro M Almeida, mahasiswa kedokteran.

Aurora kehilangan anaknya, Susana, dan menantunya yang juga arsitek, serta saudara menantunya tahun 1976. Dia terus mencari ke kantor-kantor pemerintah. Dalam mencari itu dia bertemu dengan 14 ibu pendiri yang berkumpul di Plaza de Mayo di depan Casa Rosada, istana presiden di Buenos Aires, Argentina.

Perjuangan itu antara lain menghasilkan komisi pencari fakta yang merekomendasikan pengadilan bagi pelaku penghilangan dan membukukan temuan mereka dalam buku Tidak Lagi.

Kini keduanya berjuang untuk pendidikan dan kesehatan gratis serta penyediaan lapangan kerja. (NMP)