Polri Harus Tindak Kekerasan yang Dilakukan Aparatnya

Polri Harus Tindak Kekerasan Yang dilakukan Aparatnya

KontraS menilai positif ketegasan Polri dalam menindak anggotanya yang terlibat  kasus-kasus kriminal. Setidaknya tercatat (Komjen) Suyitno Landung pada kasus penyuapan Adrian Waworuntu, (Kombes) Wiliardi Wizard kasus pembunuhan Nasrudin, dan Kompol Rojayani kasus pemerasan. Ketiga perwira polisi tersebut ketika melakukan tindak pidana tengah bertugas di Mabes Polri. Sebagaimana proses hukum terhadap Suyitno Landung, KontraS juga meminta Polri untuk menindak Wiliardi dan Rojayani tidak hanya sebatas profesi (kode etik) tetapi juga melalui peradilan umum.

Sikap tegas Mabes Polri dalam menindak anggotanya tersebut merupakan langkah besar bagi membangun polri yang profesional sekaligus pengayom dan pelindung masyarakat. Bahwa penegakan hukum dilingkungan internal ini juga harus dimaknai sebagai upaya penguatan organisasi. Karena penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Polri tidak dapat dipungkiri telah menjadi rahasia publik. Sehingga penegakan hukum dikalangan internal ini sesungguhnya menjawab harapan masyarakat yang sekaligus mengangkat citra Polri semakin positif.

Pada konteks itu, KontraS mengingatkan Kapolri untuk menjaga komitmen penegakan hukum internal bagi pembentukan budaya organisasi yang lebih akuntabel. Kapolri harus memastikan bahwa kebijakan serupa juga diterapkan di semua tingkatan baik Polda hingga Polsek. 

Sehubungan dengan hal tersebut, KontraS dalam 2 minggu terakhir telah menerima pengaduan masyarakat terkait dengan tindak kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dalam menjalan tugas. Pertama, kasus kematian Carmadi pada 16 April 2009 di Polres Slawi ketika tengah menjalani pemeriksaan. Carmadi dituduh melakukan pengeroyokan terhadap Imron (seorang tim sukses caleg PDIP di Jawa Tengah) warga sekampung di desa Pakulaut, Tegal, Jawa Tengah.  Kepada KontraS, keluarga korban menyampaikan bahwa sebelum kematiannya Carmadi telah mengeluhkan tindakan penyiksaan oleh polisi yang dialaminya. Carmadi kepada keluarga menunjukkan luka pada bagian  kepala, kuping kiri hingga tidak dapat mendengar, lidah robek, dan sakit dibagian rusuk sebelah kiri. Ketika dinyatakan meninggal oleh polisi, ditemukan juga bekas lilitan di leher. Anehnya Kasatreskrim Polres Slawi yang sebelumnya menerangkan korban pingsan ketika menjalani pemeriksaan, namun kemudian menyatakan korban meninggal karena bunuh diri. Kasatreskrim memberi copy visum et reptrum kepada pihak keluarga. Namun visum tersebut tidak sesuai standar dan tidak menjelaskan sebab kematian.

Kedua, kasus kematian Bayu Perdana Putra oleh aparat Polres Jakarta Utara. Bayu diketahui meninggal pada 5 April 2009. Sebelumnya Bayu ditangkap ditempat tinggalnya pada 2 April 2009 oleh 6-7 aparat Polres Jakarta Utara. Namun dari penelusuran bapak korban pada hari yang sama ke Polres Jakarta Utara, Polsek Senen, Polsek Kemayoran tidak mendapat informasi adanya penangkapan terhadap Bayu. Bapak korban sempat mengambil inisiatif menelpon salah seorang aparat yang menangkap Bayu (nomor itu didapat dari isteri Bayu ketika aparat tersebut melakukan penggeledahan paska penangkapan).  Dari hubungan telpon tersebut bapak korban sempat mendengar suara Bayu yang berteriak minta tolong. Lalu hubungan telpon itu terputus. Baru pada malam harinya setelah bapak korban menemui Wakasatreskrim Polres Jakarta Utara, ia mendapat keterangan Bayu benar ditangkap dan tengah dilakukan pengembangan di daerah Bogor. Pada 5 April 2009 Bayu ditemukan tewas dengan luka tembak di dada kiri dan kanan, serta luka tusuk di kedua kakinya. Santoso Wakanit IV Polres Jakarta Utara menyampaikan kepada keluarga bahwa Bayu ditembak karena berusaha melarikan diri. Penjelasan ini sulit diterima bila mengingat luka-luka yang dialami Bayu.

Ketiga, kasus penyiksaan terhadap Zaenal M. Latif oleh aparat Polres Cilegon. Zaenal ditangkap pada 29 April 2009. Sejak dilokasi penangkapan yang terjadi di Komplek Taman Banakarta Zaenal telah mengalami penyiksaan dari 10 aparat (salah seorangnya, Ipda Dedi Herdiana). Ketika menjalani introgasi di Polres Cilegon Zaenal kembali disiksa untuk dipaksa mengakui sebagai bandar narkoba dengan cara pemukulan ke wajah dan punggung korban serta menyundutkan rokok ke tubuh korban. Penyiksaan berlanjut ketika polisi melakukan penggeledahan di tempat kost korban. Dengan mata dan mulut dibekap lakban, korban dipukuli dibagian wajah oleh 4 aparat yang membawanya.  Pada Subuh 30 April 2009 korban diancam akan dibunuh oleh Briptu Rahmat dengan menempelkan laras pistol di kaki kanan korban dengan memaksa korban pengakui dirinya sebagai pengedar narkoba. Pada 30 April, korban dilepas diperbolehkan pulang, dengan diberi baju ganti (baju sebelumnya yang telah ternoda darah dilarang dibawa) dan dilarang menceritakan pada siapapun tindakan penyiksaan yang dialaminya.  

Ketiga kasus kekerasan polisi itu telah dilaporkan oleh keluarga korban/korban didampingi KontraS ke Mabes Polri (12/05), Polda Banten (6/05), dan Polres Jakarta Utara (5/05).

Tindakan penyiksaan dan penghilangan nyawa yang terjadi pada kasus tersebut diatas merupakan tindakan pelanggaran HAM yang serius. Berdasarkan itu kami meminta Kapolri untuk juga memberi perhatian serta penindakan terhadap aparatnya  yang melakukan tindakan kekerasan. Tidak hanya menerapkan sanksi administratif namun juga membawanya ke pertanggungjawaban tindak pidana di pengadilan. 

Jakarta, 13 Mei 2009
Badan Pekerja KontraS

 

Abu Said Pelu
Ketua Divisi Politik, Hukum dan HAM

Kontak: 0812 887 2060