Revisi Undang-Undang Terorisme Ditentang

JAKARTA — Dua lembaga penggiat hak asasi manusia di Indonesia keberatan terhadap revisi Undang-Undang Terorisme. Salah satu sumber keberatan mereka adalah adanya klausul untuk menambah masa penahanan seseorang hingga dua tahun. Menurut ketentuan sebelumnya, masa penahanan itu hanya 7 x 24 jam.

"Revisi itu harus ditolak," kata Usman Hamid, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), saat dihubungi Tempo semalam. "Kalau sampai dua tahun, itu namanya menghukum sewenang-wenang."

"Pemerintah harus tetap berada dalam koridor hak asasi manusia," kata Ifdhal Kasim, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, di tempat terpisah. Karena itu, ia menambahkan, penguatan intelijen dan perpanjangan masa penahanan terhadap seseorang tak bisa dilakukan.

Sebelumnya, parlemen dan pemerintah sepakat mengamandemen Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme. Kesepakatan itu terwujud dalam rapat kerja antara Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan di gedung MPR/DPR, Senin lalu.

Dalam rapat, Kepala Desk Antiteror Ansyad Mbai mengusulkan perubahan waktu penahanan. Menurut dia, masa penahanan terhadap tersangka teroris selama 7 x 24 jam, seperti dalam undang-undang sekarang, dinilai masih belum cukup untuk melakukan penyidikan. Ansyad mencontohkan Singapura dan Malaysia, yang dalam undang-undangnya menentukan waktu dua tahun untuk masa penahanan itu. "Kita minimal juga dua tahun," ujar Ansyad saat itu.

Menurut Usman, aturan yang ada sudah tepat. Masa penahanan yang diatur undang-undang tersebut sudah melampaui ketentuan dalam hukum pidana umum, yakni 1 x 24 jam. "Jadi, ide perpanjangan masa penahanan tidak perlu," ujar Usman.

Ia pun mengingatkan bahwa Malaysia dan Singapura diprotes oleh dunia internasional karena aturan penahanan sampai dua tahun tersebut dinilai melanggar hak asasi manusia. "Masak, kita mau mencontoh mereka," ujar Usman.

Daripada dipakai untuk revisi undang-undang, Usman menambahkan, anggarannya lebih baik untuk memperbaiki birokrasi. Alasannya, teroris biasanya menggunakan paspor atau kartu tanda penduduk (KTP) ganda sehingga sulit dilacak oleh polisi. "Sistem paspor dan KTP saja yang diperbaiki, itu lebih efektif mencegah teroris," kata Usman.

Sementara itu, pengamat militer Andi Wijayanto menilai perubahan undang-undang terorisme merupakan kesempatan bagi elemen masyarakat untuk memasukkan nilai-nilai hak asasi manusia. Sebab, selama ini undang-undang terorisme belum mengadopsi hak rakyat sipil yang bisa menjadi obyek terorisme.

"Dari sisi cakupan terorisme, perlindungan atau pengakuan HAM bagi masyarakat yang dapat menjadi obyek teroris belum bisa terakomodasi," ujar Andi, Senin lalu. "Inilah saat yang tepat bagi elemen masyarakat untuk mengajukan prinsip HAM ke dalam undang-undang tersebut."SUTARTO | TITIS SETIANINGTYAS | CHETA NILAWATY | DWI WIYANA