Negara Jangan Sampai Ingkar

Mengapa manusia memerlukan mengingat suatu yang pedih? Toh ia menyayat hati, membuka luka dan membuat pilu….

Teriakan kenek metromini jurusan Cakung-Tanjung Priok melengking di antara deru kendaraan yang memadati jalur Semper-Cakung, Jakarta Utara. Dan, Marulloh tetap teguh dalam doanya.

Setelah mengusap wajahnya dengan telapak tangannya, Marulloh duduk. Tatap matanya tidak lepas dari makam itu. ”Di jalan itu, dekat perempatan sana, saya ditangkap, sekitar pukul 04.00 dini hari. Saya dipaksa mengaku dan dipukuli hingga jam satuan siang. Lalu dibawa ke Guntur,” katanya menceritakan satu peristiwa 25 tahun silam yang kemudian menyebabkannya harus menderita cacat hingga seumur hidup.

Banyak bekas luka di tubuhnya, nyeri kerap menyerang dadanya. Sakit itu harus dibawanya seumur hidup sejak ia dipaksa mengaku ikut merusak fasilitas umum dan melawan negara. Padahal, ketika tragedi itu terjadi, Tragedi Tanjung Priok 12 September 1984, Marulloh adalah anak sekolah menengah pertama.

”Waktu itu warga meminta agar aparat melepaskan warga yang ditangkap. Tetapi ketika warga sampai di Jalan Permai, tentara telah menembaki mereka. Salah satu korbannya adalah Pak Amir Biki,” kata Marulloh, tetap dengan tatapan tak lepas dari makam tempat tokoh warga itu beristirahat dalam kekal.

Sore itu, sambil menunggu buka puasa, paguyuban korban pelanggaran HAM berziarah ke makam Amir Biki di kompleks Masjid Al Araaf, Jakarta Utara. Ziarah itu merupakan rangkaian peringatan 25 tahun tragedi yang menewaskan banyak warga sipil.

”Ini semua bukan untuk memupuk dendam,” kata Sumarsih, salah satu keluarga korban tragedi Semanggi yang turut dalam acara tersebut. Di depan khalayak yang hadir ia mengatakan, peringatan seperti itu juga upaya untuk terus mendesak agar kasus-kasus lain, seperti tragedi 1965, Tragedi Semanggi dan Trisakti, pembunuhan Munir, serta penembakan petani di Alastlogo terus diingatkan agar pada masa depan kejadian serupa tidak terulang lagi.

Agar rantai kekerasan dan impunitas diputus dan negara mau mengakui kekeliruannya dan menjawabnya dengan penegakan keadilan, terutama bagi para korban.

Hindari pelupaan
Koordinator Kontras Usman Hamid menegaskan, peringatan dan usaha-usaha lain untuk terus mengangkat persoalan itu diperlukan agar tidak terjadi pelupaan.

Pelupaan akan mengajarkan pada mereka di masa depan sikap untuk tidak bertanggung jawab dan menggunakan negara untuk bersembunyi. ”Untung ada peringatan ini dan saya diundang lagi. Saya sempat lupa dengan hari peringatan ini,” kata Aisiyah, salah satu anggota keluarga korban Tragedi Tanjung Priok.

Hal senada diungkapkan oleh Yusron, salah satu korban tragedi tersebut. Menurut dia, korban harus terus berjuang untuk tegaknya keadilan. Dan, kali ini, perjuangan itu tidak lagi terasa berat karena solidaritas korban terus terbangun.

Hal itu penting sebagai modal untuk terus mengingatkan siapa saja bahwa ada satu hal yang dipertanggungjawabkan agar masa depan dapat dibangun dengan lebih bermartabat…. (JOS)