Qanun Jinayat Langgar Konstitusi

Jakarta, Kompas – Pengesahan qanun hukum jinayat atau perbuatan yang dilarang dalam hukum Islam merupakan klimaks irasionalitas politik perundang-undangan nasional Indonesia, yang menggenapi praktik positivisasi agama dalam negara. Pemberlakuan hukuman cambuk di Aceh sejak tahun 2005, yang diikuti hukuman rajam sebagaimana diatur dalam qanun hukum jinayat, adalah bentuk penghukuman kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.

Demikian pernyataan pers Setara Institute yang disampaikan Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi kepada Kompas, Rabu (23/9). �Pemerintahan harus bertanggung jawab atas pelanggaran konstitusional yang diciptakan oleh qanun jinayat, yang bertentangan dengan konstitusi RI,� kata Hendardi.

Setara Institute berpendapat, pola penegakan hukum yang represif dan antikemanusiaan tidak diharapkan oleh masyarakat Aceh. Pelaksanaan syariat Islam sama sekali tidak menjawab kebutuhan masyarakat Aceh. Bahkan, Gerakan Aceh Merdeka tidak mencantumkan pelaksanaan syariat Islam sebagai salah satu butir kesepakatan.

Irasionalitas politik ini harus disikapi secara komprehensif, dengan menyusun desain besar arah politik hukum nasional. �Termasuk revisi atas UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.� tegas Hendardi.

Rapat paripurna DPR Aceh telah mengesahkan qanun hukum jinayat pada tanggal 14 September lalu. Salah satu hukuman yang disahkan adalah rajam bagi pelaku zina yang terbukti dan sudah memiliki pasangan resmi.

Wakil Koordinator I Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Indria Fernida secara terpisah menyatakan, qanun jinayat itu melanggar hak asasi manusia. �Pengesahan qanun hukum jinayat itu merupakan upaya terburu-buru Pemerintah Aceh tanpa konsultasi ke masyarakat Aceh,� kata Indria. �Qanun itu harus direvisi ulang, bahkan jika perlu dicabut,� lanjut Indria.

Guru besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji mengatakan, meskipun qanun diperbolehkan secara khusus di Aceh, tapi tidak boleh menyimpang dari hukum pidana nasional.

�Misalnya untuk perzinaan. Ada aturan hukumnya pada KUHP kita. Kalau hukuman rajam kok seolah-olah barbar sekali. Hukuman pidana dalam Islam kan sebenarnya juga lebih moderat,� kata Indriyanto.

Menurut Indriyanto, Komnas HAM bisa mengajukan judicial review atau uji materi terhadap qanun itu ke Mahkamah Agung. (idr)