Punya Motor di Kantor, Bepergian Pakai Angkot

Nama Usman Hamid dikenal sebagai aktivis yang mengurusi orang hilang. Dia pula yang getol dan telaten menyuarakan pengungkapan secara tuntas kasus pembunuhan Munir. Bagaimana kehidupannya sehari-hari?

Usman tak terpengaruh meski kini ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya dalam kasus pencemaran nama baik Muchdi Purwoprandjono. Dia tetap menjalankan tugas-tugasnya sebagai koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Kesibukan Usman memang seperti tak ada putusnya. Sesaat sebelum menemui koran ini, dia baru saja merampungkan rapat tentang qanun yang berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sebelumnya, dia sibuk mendesak pemerintah untuk menindaklanjuti rekomendasi DPR tentang kasus orang hilang.

Keesokan harinya, Sabtu lalu (10/10), pria kelahiran Jakarta, 6 Mei 1976 itu harus terbang ke Belanda. Usman akan mengikuti acara yang diselenggarakan Amnesti Internasional Belanda. “Kira-kira sepuluh hari di sana,” ungkapnya. Masalah yang dibahas di antaranya konvensi PBB tentang orang hilang dan kasus Munir.

Usman mengakui, aktivitasnya di Kontras seperti tidak mengenal jam kerja. Setiap saat selalu dipenuhi dengan beragam kegiatan. Mulai melakukan advokasi, kajian-kajian, hingga menyikapi kebijakan pemerintah yang terkait HAM (hak asasi manusia). “Sore begini seperti jam istirahat kedua bagi teman-teman,” katanya lantas tertawa.

Kasus pencemaran nama baik yang saat ini dihadapi Usman sudah dianggap risiko kerja. “Ini jadi pilihan sejak awal. Hal-hal yang terburuk pun harus kita pikirkan,” urai Usman tentang status tersangkanya.

Selama menghadapi kasus itu, Usman mengatakan terbantu dengan banyaknya tawaran rekan-rekannya. Bukan hanya aktivis, tapi juga mereka yang ada di pemerintahan. “Ini bagian dari risiko kerja saya. Kalau di-drop (dihentikan, red), ya syukur. Kalau nggak, saya juga tidak akan mundur,” tegas alumnus Fakultas Hukum Universitas Trisakti 1999 itu.

Nama Usman Hamid memang cukup dikenal sebagai aktivis sejak era reformasi lalu. Dia adalah ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Trisakti 1998-1999. Dia aktif dalam menyikapi kasus penculikan aktivis oleh militer. “Kami juga membuat tim investigasi yang sebelumnya dilakukan para dosen,” katanya.

Usman juga ikut menjadi perwakilan mahasiswa dalam Tim Delegasi Polisi dan Militer untuk misi uji balistik ke Montreal, Kanada, 1999. Sebelumnya dia mengikuti uji balistik di labfor Polri, metalurgi ITB, hingga Pindad. “Jadi, karena dorongan teman-teman juga saya menjadi aktivis seperti sekarang ini,” terang Usman.

Keaktifannya saat masih mahasiswa itu membuatnya sering mampir ke kantor Kontras dan bertemu akvitis HAM Munir. Kemudian di PBHI bersama Hendardi dan YLBHI dengan Bambang Widjojanto. Usman pun seperti semakin menemukan dunianya. Apalagi, Munir yang kala itu menjadi koordinator Kontras menawarinya untuk bergabung setelah dia lulus. “Saya tanya perlu nyiapin lamaran, kata Munir nggak usah,” ceritanya.

Selanjutnya, Usman semakin aktif dalam dunia penegakan HAM. Misalnya, pada 2001 dia ditunjuk Komnas HAM menjadi sekretaris Komisi Penyelidik Pelanggran HAM Trisakti, tragedi Semanggi I dan II terkait penembakan mahasiswa.

Saat Munir meninggal dunia pada 7 September 2004 dalam penerbangan menuju Belanda, Usman aktif untuk membuka konspirasi di balik pembunuhan itu. Dia terlibat sebagai sekretaris Tim Pencari Fakta kasus Munir yang dibentuk Presiden SBY pada 23 Desember 2004. Hingga kini dia menjadi pengganti Munir sebagai koordinator Kontras.

Bagaimana keluarga? Usman mengaku tidak ada masalah dengan kesibukannya itu. Apalagi sang istri, Veronica, juga aktivis di LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK). “Kami berasal dari dunia yang sama,” ungkap anak kesembilan dari sepuluh bersaudara itu.

Meski demikian, dia selalu berusaha memanfaatkan waktu dengan keluarga. Misalnya, saat pernikahan saudara dan Lebaran. “Itu momen-momen penting. Kita tahu bagaimana belajar hidup juga dari keluarga yang paling dekat,” jelas Usman.

Dulu keseharian Usman selalu diwarnai dengan berkendara sepeda motor. Namun, sejak tinggal di Gunung Putri, dia jarang memakainya. “Kadang naik angkot atau diantar Kontras,” katanya. Sepeda motornya tetap di Kontras. “Dipakai teman-teman,” imbuhnya.

Bersama sang istri, saat ini Usman berpikir tentang kehidupan masa depannya. Misalnya, siapa yang nanti bekerja full dan siapa yang setengah hari. Sebab, dari rumah ke tempat kerja saat ini paling cepat memakan waktu satu jam. “Kan nggak mungkin kalau nanti ngurus anak. Jadi, sekarang mempersiapkan negara kecil,” katanya lantas tersenyum. (fal/kum)