Kepercayaan masyarakat kepada polisi minim

MEDAN – Kapoldasu, Irjen Pol Badrodin Haiti, mengatakan, dari dulu kepercayaan masyarakat kepada polisi sangat kecil. Hal itu terjadi akibat ulah oknum-oknumnya yang dinilai masyarakat sering bertolak belakang dari tugas dan fungsinya sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat.

Contohnya, kata Kapoldasu yang bertindak sebagai narasumber pada Diskusi Publik “Peran Strategis Jurnalis Dalam Upaya Mendorong Reformasi Sektor Keamanan (RSK) Polri di Sumut”, terkait kasus bom.

Setelah peristiwa itu, Polri dihujat habis-habisan. Bahkan, masyarakat pesimis bisa mengungkap kasus bom tersebut. Kemudian, setelah Amrozi ditangkap, masyarakat juga tidak percaya.

Bahkan, ketika Polri mengumumkan Nordin Muhammad Top berada dibalik pengeboman itu, masyarakat juga tidak percaya. Konon, menuding Polri sengaja menghembuskan Noerdin M Top berada dibalik peristiwa itu untuk menutupi kelemahan polisi.

Namun demikian, walau berbagai macam hujatan dari segala penjuru, Polri tetap tenang melakukan pekerjaan, hingga akhirnya pelaku bom di Indonesia terungkap. “Penilaian yang negatif terhadap Polri boleh-boleh saja. Yang jelas, salah satu program 100 hari Polri adalah menciptakan rasa kepercayaan masyarakat terhadap Polri dan itu akan berusaha kita buktikan,” kata Kapoldasu.

Kapoldasu mengatakan, dengan rasa ketidak percayaan masyarakat terhadap Polri, peran media massa sangat besar, baik sebagai sosial kontrol maupun menginformasikan paradigma baru yang sedang dilakukan Polri. Bahkan, menyuarakan Program unggulan yang sedang berjalan.

Dalam diskusi yang dihadiri sejumlah narasumber seperti Ketua Wardjamil dari Dewan Kehormatan Daerah PWI Sumut, Koordinator Kontras Sumut Diah Susilawati, Kepala Pusat Studi HAM Unimed Majda El Muhtaj, Pemimpin Redaksi Waspada Online, Avian Tumengkol dan diskusi yang dibuka Ketua DKD PWI Sumut, Ronni Simon, Kapoldasu Irjen.Drs.Badrodin Haiti mengatakan, peranan media massa tidak bisa dilepas dari segala aspek kehidupan, termasuk juga kepolisian.

“Peran pers dan masyarakat sangat penting dalam mengawasi kinerja kepolisian. Bayangkan, di Sumut saja ada 18000 anggota Polri dan untuk mengawasi kinerja mereka satu persatu sangat tidak mungkin. Disinilah peran media massa dan masyarakat,” kata Kapoldasu.

Bahkan, Kapoldasu mengakui sering mendapat informasi dari media massa yang sebelumnya tidak dilaporkan anggotanya. Badrodin menjelaskan, media massa memiliki kekuatan yang sulit dibendung, karena bisa membentuk opini publik. “Pers bisa mengubah sesuatu yang tidak memiliki kekuatan menjadi kuat. Dan yang tidak dikenal menjadi dikenal,” tandasnya.

Misalnya, kata mantan Kapoltabes Medan itu, kasus demo Protap pada 3 Februari 2009 yang menewaskan Ketua DPRD Sumut Abdul Azis Angkat. Terjadinya pencopotan Kapoldasu dan sejumlah pejabat utama di Poldasu termasuk Kapoltabes MS akibat keterlambatan dan kekurangan informasi.

Anggota dilapangan mengatakan, situasi terkendali. Kemudian, Kapoltabes MS melapor ke Kapoldasu dan kemudian dilaporkan ke Kapolri sampai ke Presiden. Ternyata, kenyataan dilapangan beda. Tidak lama kemudian, Ketua DPRDSU, Aziz Angkat meninggal dunia.

Artinya, kita tidak langsung segera percaya kepada ‘anggota dilapangan, tapi kita juga perlu mendapat informasi dari masyarakat. Sebagai upaya melakukan reformasi ditubuh Polri, Kapoldasu mengatakan pihaknya tidak lagi hanya menunggu informasi tapi menjemput ‘bola’. Hal inilah salah satu program unggulan yang sedang kita laksanakan, tandas Kapoldasu.

Sembari mengingatkan, bahaya yang selalu mengancam para jurnalis adalah pemberitaan yang mengakibatkan SARA. Ditambahkannya, Polri sedang melakukan tiga bentuk reformasi yaitu Reformasi Struktural, Instrumental dan reformasi Kultural.

Sementara itu, Ketua DKD PWI Sumut, H.Ronni Simon dan Wardjamil mengatakan, media massa sebagai pemberi informasi kepada masyarakat bisa di ‘manfaatkan’ Polri demi kebaikan. Dan mereka juga meminta dalam memeriksa wartawan terkait pemberitaan agar menggunakan UU Jurnalistik No.40 Tahun 1999.

Kordinator Kontras Sumut Diah Susilowati juga mengatakan, tantangan jurnalis dalam isu RSK ini adalah menjadikan kriminalisasi jurnalis, adanya intervensi dari aktor RSK dan kurangnya pertahanan diri.