Respon Terhadap Pengesahan Prolegnas 2010

Respon Terhadap Pengesahan Prolegnas 2010

KontraS menyesalkan Program Legislasi Nasional 2010 tidak mengagendakan pembahasan beberapa regulasi penting yang menajadi mandat reformasi. Padahal regulasi-regulasi penting tersebut telah dibahas baik oleh Pemerintah dan DPR serta dikawal oleh masyarakat sipil di tahun-tahun sebelumnya, dan terlebih lagi telah dicantumkan dalam beberapa ketentuan hukum lainnya. Beberapa di antaranya bahkan telah melalui perdebatan panjang dan pembahasannya hampir berakhir. 

Kami memandang aturan-aturan yang semestinya masuk dalam agenda Prolegnas adalah :

1. Revisi terhadap RUU Peradilan Militer.

RUU Revisi Peradilan Militer semestinya menjadi prioritas utama dalam agenda reformasi militer. Tidak tuntasnya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu menyisakan persoalan mendasar, yaitu inefektivitas dari mekanisme akuntabilitas TNI. Masalah ini kian mempertebal tembok impunitas institusi TNI. Kebuntuan pembahasan dalam Pansus DPR periode 2004-2009 tidak bisa menghalangi urgnsi pembahasan terhadap revisi RUU Peradilan Militer di tahun 2010.

Kami meminta Komisi III DPR RI untuk segera melakukan re-orientasi terhadap draf dan menindak lanjuti pembahasan rencana perubahan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang telah dikerjakan oleh Pansus sebelumnya.

2. Revisi terhadap RUU Komisi Kebenaran

Mekanisme Komisi Kebenaran merupakan salah satu mandat dari TAP MPR No.V/MPR/2000 tentang Persatuan dan Kesatuan Nasional dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Mekanisme ini merupakan mekanisme komplementer terhadap Pengadilan HAM yang saat ini berlaku. Ketidakjelasan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu †selain kasus-kasus yang telah diselidiki oleh Komnas HAM †menjadi urgensi pemberlakuan RUU ini. Apalagi mekanisme ini juga telah menjadi mandat dari UU tentang Pemerintahan Aceh dan UU Otonomi Khusus Papua.  Komisi Kebenaran yang mengarusutamakan nilai dan prinsip HAM, khususnya pemenuhan hak terhadap korban ini tidak bisa ditunda lagi.

Kami meminta Pemerintah, dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM untuk memperhatikan aspirasi korban pelanggaran HAM, khususnya di wilayah Aceh dan Papua dalam draft RUU KKR yang baru. Revisi ini tidak boleh mengulang kesalahan UU KKR yang lama yang justru membatasi hak-hak korban yang paling prinsipil.

3. Pengesahan Konvensi Anti Penghilangan Orang Secara Paksa

Keluarga korban penghilangan paksa adalah pihak yang paling  sulit posisinya. Selain harus menanti ketidakjelasan atas keberadaan dan nasib korban, mereka juga harus bergelut dengan persoalan kekininan, berupa administrasi kependudukan yang tidak jelas dalam sistem kenegaraan. Pemerintah telah berkomitmen untuk mengesahkan konvensi penghilangan orang secara paksa, seperti dinyatakan Menteri Hukum dan HAM dalam Forum Petinggi Negara dalam Dewan HAM PBB tahun 2006. Komitmen ini juga ditegaskan dalam pertemuan-pertemuan korban pelanggaran HAM dengan Komnas HAM, Departemen Luar Negeri dan Departemen Hukum dan HAM sendiri. Di penghujung masa DPR periode 2004-2009, Pansus Orang Hilang DPR RI juga merekomendasikan pengesahan konvensi penghilangan orang secara paksa, yang juga menandakan urgensi dari pengesahan konvensi ini. 

Kami meminta Pemerintah segera menandatangani konvensi ini untuk kemudian disahkan sebagai hukum nasional di Indonesia sebagai bentuk perlindungan bagi semua orang atas tindakan penghilangan secara paksa di kemudian hari.

Terhadap kebutuhan-kebuthan mendesak di atas, KontraS meminta Pemerintah dan DPR tidak menutup mata. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, pembahasan terhadap RUU yang penting dapat dilaksanakan meski tidak diputuskan dalam Prolegnas. Pembahasan terhadap regulasi-regulasi penting ini di tahun 2010 menjadi ukuran dari komitmen dan konsistensi Pemerintahan SBY dan anggota DPR RI untuk menelurkan kebijakan-kebijakan yang pro-HAM dan demokratis di tahun 2010.

 
Jakarta, 14 Desember 2009
Badan Pekerja,

 

Indria Fernida
Wakil I Koordinator