Komisi Nasional HAM, Riwayatmu Kini…

Wisnu Dewabrata 

KOMPAS.com — Suasana di Gedung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di bilangan Latuharhary, Jakarta Pusat, Selasa (12/1/2010) sore, tampak masih diwarnai berbagai kesibukan. Sejumlah anggota staf Sekretariat Jenderal Komnas HAM di lantai satu tampak mondar-mandir atau ada juga yang serius mengerjakan sesuatu di depan layar komputernya.

Kesan yang terasa di ruang kerja lantai satu Sekretariat Jenderal Komnas HAM memang kental bernuansa macam kantor pemerintahan. Kesan itu boleh jadi muncul lantaran terdapat banyak meja dan kursi bagi staf dan lemari berkas yang ditata berderet nyaris berimpitan dalam ruangan yang tidak terlalu luas dan sedikit suram.

Itu pemandangan di lantai satu. Sama sekali tidak mirip dengan pemandangan di lantai dua gedung tempat komisioner dan stafnya berkantor. Baru beberapa waktu lalu tata ruang dan bangunan di lantai dua ini selesai direnovasi ala perkantoran modern yang nyaman dan tertata rapi. Mirip perkantoran kantor swasta di kawasan Jalan Sudirman atau Jalan MH Thamrin, Jakarta.

Ketua, wakil ketua, dan komisioner mendapatkan ruangan yang relatif luas. Malah sebelum masuk ruang kerja Ketua Komnas HAM terdapat satu ruang staf yang sekaligus juga berfungsi untuk menerima tamu. Untuk staf yang lain, mereka diberi bilik kerja yang terbilang tertata rapi dan nyaman.

Berdasarkan pengamatan Kompas, kondisi macam itu bisa dibilang sangat maju jika dibandingkan dengan kondisi Kantor Komnas HAM lima tahun lalu. Saat itu, suasana Gedung Komnas HAM masih terbilang lengang. Orang hanya akan melihat ruangan luas berisi beberapa kamar tempat komisioner menerima tamu atau pengadu. Dalam setiap ruangan pengaduan itu paling hanya ada satu meja panjang dan sejumlah kursi lipat.

Sekarang, ruang pengaduan ditempatkan di bagian belakang gedung, berdekatan dengan Kantor Komnas Perempuan. Setiap pengadu datang, menurut seorang petugas penerima tamu, harus terlebih dahulu mendaftar. Bahkan, kalau ingin bertemu komisioner, janji harus dibuat terlebih dahulu setidaknya tiga hari melalui staf komisioner. Kecuali jika si pengadu punya kontak langsung dengan sang komisioner.

Cenderung normatif

Saat ini, seperti diakui Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, Selasa, staf Komnas HAM mencapai 200 orang. Semuanya berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dengan jenjang kepangkatan sama dengan PNS di kementerian atau instansi pemerintahan lain.

Jumlah staf masih bisa bertambah karena setiap tahun Komnas HAM masih mengadakan seleksi masuk. Sebagaimana sistem penggajian dan jenjang karier di instansi lain, staf berstatus PNS di Komnas HAM juga akan mengikuti dan disesuaikan dengan jenjang kepangkatan PNS. Karena itu, tak satu pun jabatan kepala biro dan kepala bagian diisi staf Komnas HAM lama yang bertahap ”diputihkan” menjadi PNS.

”Saat awal berdiri, staf Komnas HAM cuma 10 orang. Itu pun enggak ada yang bisa bahasa Inggris. Alokasi anggaran yang diberikan cuma Rp 2 miliar dan dititipkan ke Sekretariat Negara serta diambil dari Anggaran Belanja Tambahan (ABT) per tahun. Dasar hukum Komnas HAM hanya keputusan presiden yang tak memberikan banyak kewenangan dan sewaktu-waktu bisa dicabut,” papar mantan Sekretaris Subkomisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Roichatul Aswidah.

Walau dengan banyak keterbatasan, Roichatul mengaku bangga dan yakin Komnas HAM saat itu sangat berintegritas dan mempunyai kelebihan, mampu menjawab tantangan zaman serta berani mengambil sejumlah terobosan besar. Ia memutuskan keluar dari Komnas HAM setelah 15 tahun bekerja di sana.

Roichatul menolak untuk ”diputihkan” menjadi PNS dan bekerja di bawah mekanisme baru yang dinilainya tak memberikan keleluasaan. Kondisi ini banyak berubah dan dia memilih untuk hengkang.

Dalam perbincangan dengan Kompas, beberapa waktu lalu, ia menceritakan pengalamannya bekerja di Komnas HAM periode sebelumnya, terutama pada masa komisi itu baru dibentuk.

”Dasar hukum pendiriannya hanya berbentuk keputusan presiden (Keppres Nomor 50 Tahun 1993) yang sewaktu-waktu bisa dicabut begitu saja oleh Presiden Soeharto. Sekarang jauh lebih kuat (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan UU Nomor 26 Tahun 2000),” ujarnya.

Dalam penilaiannya, Komnas HAM belakangan mengalami semacam disorientasi lantaran ketidakmampuannya menetapkan fokus persoalan bersama untuk diprioritaskan penuntasannya.

Komisioner HAM saat ini, dinilai Roichatul, kurang mampu memanfaatkan secara maksimal modal internal dan eksternal yang dimiliki. Modal internal, seperti dukungan anggaran dan personel yang memadai. Dukungan eksternal, seperti dukungan masyarakat dan media massa. Hal itu masih ditambah lagi dengan kurangnya kemampuan lobi para komisioner.

Akibatnya, Komnas HAM terkesan ingin menambah persoalan untuk ditangani yang terlihat jelas ketika komisi itu membuka penyelidikan kasus 1965 dan penembakan misterius. Sementara hasil penyelidikan pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti kasus Trisakti, Semanggi I dan II, kasus orang hilang, Tragedi Mei 1998, kasus Talangsari, dan banyak lagi terkesan terus mengambang.

Dalam perjalanannya, Komnas HAM juga mencoba menangani sejumlah kejadian lain, seperti pembunuhan aktivis HAM Munir, kasus lumpur panas Lapindo, dan terkait hilangnya hak memilih warga negara pada Pemilu 2009. Terlalu banyak hal terkesan ingin ditangani Komnas HAM saat ini.

Kondisi seperti itu, kata Roichatul, terjadi lantaran sejak awal komisioner tidak punya bacaan bersama yang jelas tentang kasus apa yang harus diprioritaskan. Jika dibandingkan dengan pendahulunya, Komnas HAM pada angkatan pertama berani memfokuskan diri untuk mengambil dan berupaya menuntaskan kasus tertentu, yang dinilai mendapatkan perhatian luas masyarakat dan pemerintah tidak mengambil tindakan apa pun untuk menuntaskannya.

Selain itu, tambah Roichatul, Komnas HAM generasi terdahulu, pada masa Ali Said, Baharuddin Lopa, dan Asmara Nababan, berani membuat terobosan dengan membuka dan menerima pengaduan dari masyarakat. Hal itu bisa dilakukan lantaran komisioner berani menginterpretasikan secara luas peran Komnas HAM walau pemerintahan Soeharto sengaja ingin menjadikan komisi itu tidak punya peran apa-apa.

”Padahal, kalau mau duduk diam saja, mereka (komisioner) itu tidak akan bisa disalahkan. Isi keppres memang ingin membuat mereka tak ngapa-ngapain. Tetapi, Pak Lopa saat itu tidak mau. Dia berani menafsirkan keppres secara lebih luas dan Komnas HAM lalu menerima pengaduan masyarakat. Semua itu kan pinter-pinternya Pak Lopa dan komisioner yang lain,” ujar Roichatul.

Tidak hanya itu, komisioner juga berani secara tegas menetapkan dalam penanganan kasus tidak boleh ada konflik kepentingan. Selain itu, disepakati pula keberadaan Komnas HAM tidak untuk menjadi tempat untuk mencari nafkah, melainkan hanya untuk menolong orang. Walau tidak tercetak bagus-bagus dalam sebuah buku, kesepakatan bersama itu menjadi semacam kode etik yang juga dipatuhi bersama.

Terkait konflik kepentingan, pada masa itu, ujar Roichatul, tidak pernah terjadi. Misalnya, Asmara Nababan tak akan berkomentar, apalagi turun tangan, dalam menangani kasus terkait perseteruan dalam Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Selain itu, komisioner Miriam Budiarjo juga tidak akan pernah terlibat dalam menangani kasus terkait PT Freeport lantaran mendiang suaminya pernah menjabat sebagai presiden komisaris di sana.

Belum lagi kisah yang menggambarkan bagaimana kuatnya komisioner kala itu menjaga integritas, termasuk menghindari pemberian dari orang atau pihak yang diyakini memiliki kepentingan terhadap Komnas HAM. Bahkan, pernah Lopa meminta stafnya mengembalikan beberapa sisir pisang dari seorang pengadu yang kebetulan kasusnya selesai.

”Pernah pula dalam suatu rapat pleno, Pak Ali Said dengan keras memperingatkan staf dan komisioner lain yang menanyakan gaji. Sebetulnya hal itu wajar saja ditanyakan. Namun, Pak Ali Said bilang, dia tak akan mampu menggaji mereka seperti yang diminta. Kalau masih mau ikut, ya terima saja gaji yang ada. Kalau tidak mau, ya silakan keluar,” ujar Roichatul.

Kritik dan kekecewaan juga disuarakan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Saat ditemui terpisah, pekan lalu, relawan Paguyuban Warga Antipenggusuran (Pawang), Isnu Handono, mengatakan, Komnas HAM dalam menangani kasus penggusuran terhadap warga selama ini terkesan selalu normatif.

”Mereka tidak pernah berani membuat terobosan. Setiap pengaduan yang kami sampaikan ke Komnas HAM selalu dijawab dengan cara sama, mengirimkan undangan ke instansi yang menggusur untuk mempertemukannya dengan korban. Hal seperti itu bisa saya pastikan selalu berulang untuk semua kasus penggusuran yang kami tangani dan melibatkan Komnas HAM,” ujar Isnu.

Padahal, idealnya diharapkan Komnas HAM bisa berperan dan terlibat aktif dalam langkah kuratif, macam pembinaan bagi warga yang tinggal di satu lahan. Warga itu, kata Isnu, sebenarnya juga paham mereka tidak berniat menjadikan lahan yang biasanya sebelumnya lahan tidur menjadi haknya. Namun, yang sering terjadi, mereka dituduh merampas lahan dan dengan alasan itulah digusur.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid juga melihat Komnas HAM kini mengalami kesulitan dalam menentukan skala prioritas, terutama terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu.