GERAKAN MAHASISWA, DIMANAKAH TINJUMU?

Lebih dari sebelas tahun yang lalu, gerakan mahasiswa memberi warna dan menjadi salah satu penentu diletakkannya fondasi demokrasi di Indonesia. Namun saat ini, gerakan mahasiswa kurang terlihat perannya dalam mengawal demokrasi dan menjadi oposisi untuk kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada rakyat.

Gerakan mahasiswa adalah sebuah fenomena dalam gerakan sosial dan selalu mengambil peran pada setiap jaman dan masanya. Namun saat ini, semakin sulit melihat peran serta mengidentifikasi gerakan mahasiswa. Sejarah Indonesia mencatat, gerakan mahasiswa terkadang pada momentum tertentu menemui titik keemasan dan menjadi motor perubahan, namun juga tidak sedikit gerakan mahasiswa mengalami disorientasi yang berujung pada keterpurukan. Apakah gerakan mahasiswa telah gagal dan kehilangan makna?

Kondisi kekinian

Gerakan mahasiswa tahun 1998 adalah salah satu faktor pendobrak bagi terciptanya kebebasan sipil politik yang tersandera selama 32 tahun lamanya. Namun setelah reformasi, tidak ada lagi satu gelembung besar gerakan mahasiswa, justru yang nampak hanya riak – riak kecil dan terpecah dengan isu – isu sektoral dan tidak sedikit pula yang masuk dalam perangkap pragmatisme politik penguasa.

Fenomena ini jelas terlihat dalam potret gerakan mahasiswa saat ini yang semakin nampak eksklusif dan kurang kontekstual dengan isu–isu kerakyatan. Kondisi ini diperparah dengan munculnya gesekan–gesekan akibat dari sempitnya sudut pandang dalam menafsirkan perbedaan ideologi, simbol dan kepentingan di antara mereka. Sering terlihat dalam aksi–aksi mahasiswa, meskipun memiliki pilihan isu yang sama namun dalam aksi tidak bisa berjalan bersama.

Sebagai simbol gerakan oposisi, kondisi gerakan mahasiswa di Indonesia saat ini mengalami penurunan baik kualitas maupun kuantitas. Sehingga kehadiran dan tekanannya kurang dirasakan. Dalam realitasnya, gerakan mahasiswa saat ini sulit beradaptasi dengan gerakan masyarakat sipil lainnya. Bahkan tidak sedikit terjebak pada pola yang sempit, yakni mengartikulasikan “gerakan” hanya pada satu atau dua metode, sehingga message yang akan disampaikan kurang dirasakan oleh masyarakat maka hasilnya dukungan dan simpati dari masyarakat terhadap gerakan mahasiswa tidak terlalu besar.

Dalam beberapa kasus, khususnya untuk isu–isu Hak Asasi Manusia (HAM) baik itu pelanggaran hak sipil politik ataupun ekonomi sosial dan budaya (ekosob), semakin jarang ditemukan mahasiswa mengambil inisiatif untuk bergerak. Meski tidak bisa dipungkiri ada sebagian mahasiswa yang secara sadar dan aktif turut terlibat dalam beberapa aksi kemanusiaan, seperti membantu bencana alam, kekerasan oleh aparat negara, skandal Bank Century, korupsi, dan beberapa isu–isu lainnya. Namun format gerakan yang dibangun masih terkesan sporadis dan tidak cukup memiliki konsistensi sehingga kurang diperhitungkan oleh penguasa. Bahkan dalam kehidupan di kampus, aktivis mahasiswa saat ini hanyalah kelompok minoritas dan kurang mampu memberikan warna terhadap kelompok mayoritas mahasiswa yang cenderung hedonis, apolitis dan sebagian terjebak pada pragmatisme hidup yang hanya memuja materi sebagai ukuran dari kualitas hidup.

Kondisi gerakan mahasiswa yang sedang mengalami penurunan kualitas dan kuantitas tersebut tentu berpengaruh pada kualitas politik di Indonesia. Saat ini praktis kekuatan penyeimbang dari mesin politik negara tinggal menyisakan Organisasi Non Pemerintah (Ornop) yang memiliki fokus pada beberapa isu sosial. Fenomena munculnya Ornop sebagai gerakan penyeimbang politik negara di Indonesia terutama muncul setelah reformasi 1998. Meski jauh sebelum Orde Baru tumbang, ada beberapa Ornop yang sudah memainkan peran sebagai gerakan penyeimbang, namun tidak berdaya menghadapi kuatnya hegemoni kekuasaan Orba.

Gerakan mahasiswa saat ini jauh tertinggal dengan Ornop di dalam memposisikan diri pada kancah perpolitikan nasional. Gerakan mahasiswa masih kesulitan keluar dari persoalan internal yaitu fragmentasi kepentingan dan cara pandang terhadap tema–tema sosial. Selain itu, cara mengartikulasikan politik juga mengalami penyempitan makna dengan mengidentifikasi politik hanya pada isu–isu elit yang terfokus pada Istana Negara dan DPR RI sebagai simbol yang akan disasar.

Penurunan identifikasi politik dari gerakan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya pertama, gerakan mahasiswa mulai kehilangan fokus karena tidak lagi menemukan musuh bersama/isu perekat. Kedua, gerakan mahasiswa tidak mampu berkontekstualisasi dengan tema–tema sosial politik yang terus berkembang secara dinamis, sehingga mulai terjadi jarak dengan isu–isu kerakyatan. Ketiga, gerakan mahasiswa tidak jarang mulai terperangkap bahkan diam–diam berafiliasi pada kekuatan politik yang berorientasi pada kekuasaan. Keempat, gerakan mahasiswa mulai terhimpit oleh pengaruh arus deras globalisasi informasi yang disajikan dalam berbagai bentuk melalui media cetak dan elektronik.

Untuk kondisi saat ini, jika kita masih sama–sama berhasrat mengembalikan dan menemukan kembali identitas gerakan mahasiswa, maka tidak ada kata lain harus mampu menjawab identifikasi persoalan di atas. Mahasiswa saat ini dituntut untuk mampu berpikir cerdas dan sadar terhadap posisinya dalam stratifikasi kelas sosial di Indonesia. Mahasiswa adalah salah satu tingkatan kelas yang cukup tinggi dan tentu saja tidak semua orang dapat mencapai itu, mengingat kondisi ekonomi di Indonesia tidak merata, sehingga tidak semua mampu mengakses perguruan tinggi. Peran gerakan mahasiswa menjadi sangat penting, jika kita melihat sistem demokrasi yang sudah dianut oleh republik ini, maka tidak dapat ditawar lagi, bahwa rakyat harus memiliki daya tawar yang sama dengan negara, kita semua memiliki tugas untuk memperkuat posisi rakyat di mata negara.

Dalam situasi ini maka peran gerakan mahasiswa sebagai gerakan intelektual sangat penting untuk mengambil inisiatif membantu penyadaran politik terhadap masyarakat. Agenda ini selanjutnya akan menjadi kata kunci untuk mengartikulasikan gerakan mahasiswa dalam masa transisi menuju penemuan identitas gerakan mahasiswa yang sesungguhnya. Dalam kurun waktu lebih dari sebelas tahun reformasi, makna substansial yang hilang dari gerakan mahasiswa adalah “peleburan” bersama rakyat.

Situasi rakyat Indonesia saat ini belum menunjukkan sebagai entitas ideal dari sebuah masyarakat demokrasi. Daya tawar masyarakat Indonesia masih lemah di mata negara, masyarakat (people) masih menjadi subyek musiman dalam pemilu lima tahunan. Daya tawar (kedaulatan) rakyat baru terlihat ketika masa kampanye dan menjadi pemilih (voter) di dalam bilik suara. Namun setelah itu, ketika masa pemerintahan berlangsung, kebijakan pemerintah jarang merujuk kepada suara rakyat sebagai pertimbangan utama. Inilah paradoks demokrasi di Indonesia hingga hari ini.

Sejarah dan Spiral Kekerasan

Gerakan mahasiswa jika kita tengok dari sejarah kemunculannya adalah merupakan anti thesa dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Sehingga dampak kebijakan tersebut memicu dan memelihara lahirnya kekerasan. Dom Helder Camara menjelaskan dialektika tersebut dengan teori spiral kekerasan. Teori ini dapat dijelaskan dari bekerjanya tiga bentuk kekerasan bersifat personal, institusional dan struktural, yaitu ketidakadilan, kekerasan pemberontakan sipil dan represi negara.

Konfigurasi spiral kekerasan tersebut cukup menggambarkan bahwa kebijakan negara yang melahirkan dan memicu kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia menjadi bagian dari siklus gerakan kaum muda kritis untuk menyongsong perubahan.

Membicarakan perjalanan negeri ini, sulit rasanya tanpa menyertakan peran dari gerakan mahasiswa dan pemuda. Pada awal perjuangan kemerdekaan, muncul pemuda–pemuda yang dimotori oleh Soepomo kemudian mendeklarasikan organisasi pemuda dengan nama Boedi Oetomo. Meski hanya melibatkan mahasiswa dari Jawa, organisasi ini menjadi tonggak penting kebangkitan gerakan kaum muda di Indonesia hingga puncaknya terjadi Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.

Gerakan mahasiswa kembali menemukan momentumnya di akhir masa pemerintahan Presiden Soekarno, kelompok yang kemudian dikenal dengan sebutan eksponen 66 selanjutnya banyak memegang tampuk kekuasasan di era Orde Baru. Selanjutnya menarik untuk melihat kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap gerakan mahasiswa. Pemerintah Orde Baru mengerti betul potensi yang dimiliki oleh gerakan mahasiswa akan mengancam eksistensi kekuasaan. Untuk itu melalui SK Menteri P dan K yang saat itu dijabat oleh Dr. Daoed Joesoef, dikeluarkan keputusan Nomor: 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK).

Penerapan kebijakan tersebut kemudian mengubah secara drastis peran gerakan mahasiswa, akibat dari kontrol negara yang terlalu ketat, akhirnya gerakan mahasiswa menjadi sulit menemukan momentumnya dan praktis tidak ada geliat yang cukup memiliki pengaruh di bawah kendali Orde Baru.

Pasang surut gerakan mahasiswa berhubungan erat dengan mengetat dan mengendurnya sistem politik yang diambil negara. Format aktivitas yang dipilih mahasiswa bukan semata-mata pilihan bebas berdasarkan perkembangan kesadaran subyektif mahasiswa, melainkan lebih jauh lagi akibat intervensi mekarnya artikulasi kekuasaan negara. Posisi riil negara bukanlah pengayom, pengawas dan pembina, tetapi sebagai partner. Hanya saja pada kondisi sekarang, artikulasi kekuatan negara dan masyarakat begitu tidak berimbang. Negara menjadi sangat dominan.

Membumikan Gerakan Mahasiswa

Persoalan mendasar dari gerakan mahasiswa saat ini adalah sulitnya menemukan momentum. Jika kita simak secara seksama, banyak faktor yang mempengaruhi situasi ini, pertama gerakan mahasiswa harus segera menemukan jati dirinya kembali sebagai agen perubahan (agent of change) dan gerakan moral (moral movement). Kedua, harus mampu berkontekstualisasi dengan isu–isu kerakyatan, sehingga tidak lagi berjarak dengan gerakan masyarakat sipil lainnya. Ketiga, mampu membangun konsistensi sehingga tidak lagi muncul gerakan parsial dan sporadis.

* Penulis adalah anggota Badan Pekerja KontraS dan Mantan Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.