Disesalkan Penyerangan Kantor Bendera

Sebuah penyerangan dilakukan kelompok tertentu terhadap Kantor Lembaga Swadaya Masyarakat, Bendera hari Jumat tengah malam. Sebanyak delapan orang tidak dikenal yang menggunakan motor,  mencoba mencari beberapa tokoh Bendera. Mereka  merusak fasilitas kantor ketika orang yang mereka cari tidak diketemukan.

Pihak kepolisian telah mengambil tindakan terhadap aksi kekerasan tersebut. Beberapa pelaku telah ditangkap dan sejauh penyelidikan polisi aksi tersebut adalah perkelahian di antara dua kelompok.

Kita tidak ingin menilai negatif penjelasan yang diberikan polisi. Hanya saja kita ingin mengingatkan, apabila polisi tidak melengkapi penjelasannya dengan analisis yang bisa diterima dengan akal sehat, maka kasus ini akan bisa berdampak buruk bagi pembangunan demokrasi kita.

Mengapa? Karena tradisi kekerasan seperti ini tipikal pendekatan keamanan di era sebelum reformasi. Yang paling melekat di benak masyarakat dan belum bisa hilang adalah penyerangan 27 Juli 1996 ke Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia.

Kita tahu penyerangan tahun 1996 dilakukan karena Kantor DPP PDI menjadi tempat aksi mimbar bebas. Setiap hari di tempat itu diteriak perlawanan terhadap rezim berkuasa. Mimbar bebas tersebut dinilai bisa mengganggu legitimasi rezim berkuasa. Olah karena itu rezim berkuasa memerintahkan aparat militer untuk melakukan penyerangan dan pembersihan.

Untuk melakukan upaya pembersihan, aparat militer tidak menggunakan tangan sendiri. Mereka meminjam tangan-tangan preman untuk melakukan aksinya, sementara aparat militer dengan menggunakan pakaian sipil mendukung di belakangnya.

Penyerangan di pagi subuh buta menjadi penyerangan berdarah. Kita tidak tahu berani korban yang sesungguhnya dari aksi kekerasan tersebut. Hingga hari ini kita tidak pernah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada hari itu dan berapa orang yang harus menjadi korban?

Sungguh menyedihkan apabila di zaman yang sudah berbeda, sikap dan perilaku kekerasan itu berubah. Apalagi kemudian polisi mencoba menyederhanakan persoalan menjadi perkelahian antarkelompok. Bahasa yang sama kita kenal dan kita dengar di zaman Orde Baru dulu.

Terlalu naïf apabila kita tidak mencoba memperluas analisis dalam melihat kasus penyerangan ini. Tidak mencoba mencari tahu motif di balik penyerangan. Sebab, kalau sekadar persaingan antarpribadi, mengapa tidak terjadi sebelum aktivis Bendera terlibat dalam kegiatan yang dianggap mencemarkan nama baik beberapa pejabat Partai Demokrat dan tim pemenangan pemilu SBY-Boediono?

Apalagi sekarang diketahui identitas pelaku penyerangan adalah anggota LSM yang mempunyai afiliasi dengan Partai Demokrat. Jadi janggal penilaian yang dilakukan kepolisian bahwa penyerangan itu hanya merupakan perkelahian antarkelompok.

Pemerintah seharusnya menangani serius persoalan penyerangan ini. Bukan untuk membela pihak Bendera, tetapi yang jauh lebih penting adalah menyelamatkan demokrasi yang sudah lebih 10 tahun kita perjuangkan.  Pemerintah bisa dicitrakan antidemokrasi apabila hal seperti itu tidak ditangani secara tegas. Bahkan Partai Demokrat akan sangat dirugikan, padahal belum tentu mereka tahu akan aksi penyerangan tersebut.
Kita tidak boleh menolelir adanya aksi kekerasan dalam penyelesaian perbedaan. Esensi utama dari pilihan kita menjalankan demokrasi, perbedaan pendapat harus diselesaikan dengan cara-cara yang beradab. Kita harus menyelesaikan segala persoalan melalui jalur hukum yang ada.

Kita tidak bisa lagi berjalan ke belakang. Kita harus maju ke depan untuk membuat sistem demokrasi menjadi lebih matang dan berjalan lebih baik di negara kita tercinta ini.

Bukan zamannya lagi kita menggunakan cara-cara preman dalam menangani persoalan. Betapa pun menyakitkan perlakuan yang kita alami, semua itu tidak boleh membuat kita jadi bermata gelap. Kita harus tetap berpikiran rasional dan menyelesaikan semua persoalan dengan cara-cara yang beradab.

Kegagalan kita untuk mencegah aksi kekerasan akan mudah memunculkan eskalasi. Seakan-akan cara kekerasan merupakan cara yang sah, padahal itu cara yang sungguh bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Satu hal yang harus menjadi perhatian kita bersama, aksi kekerasan masih lekat pada masyarakat kita. Di beberapa daerah kita lihat begitu mudahnya terjadi bentrokan dan dipraktikkannya aksi kekerasan. Mereka tidak merasa bersalah untuk melakukan itu karena kita tidak pernah memberikan pendidikan yang benar tentang bagaimana cara menyelesaikan perbedaan.

Sekarang ini potensi bentrokan akan semakin  kuat karena Panitia Khusus Bank Century akan segera menyelesaikan tugasnya. Kita menangkap adanya dua pandangan yang berseberangan di tengah masyarakat berkaitan dengan langkah pemerintah untuk menyelamatkan Bank Century tersebut.

Biarkanlah persoalan itu diselesaikan di Gedung Parlemen. Jangan persoalan itu dibawa ke akar rumput, karena kemudian yang akan terjadi adalah perbedaan yang diametrikal. Marilah persoalan Bank Century kita selesaikan dengan cara yang beradab, bukan dengan cara-cara kekerasan.