Melirik Reformasi Militer di Aceh (Jilid 2)

Dalam konteks Negara yang sedang memasuki masa transisi, prinsip Negara demokratis mengharuskan Negara untuk menata ulang dan melakukan pembagian kekuasaan (sharing of power) data atau pembagian tanggungjawab (sharing of responbility) antara lembaga-lembaga negara. Pembagian ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan-chek and balance-antara lembaga-lembaga Negara.

Sama halnya dalam konteks Aceh, agenda perjanjian antara Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, secara berkelanjutan juga mengantarkan wilayah Aceh dalam masa transisi.

Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan beberapa sedikit wacana dalam hal penataan ulang hubungan lembaga-lembaga Negara di Aceh yakni melihat hubungan sipil-militer dalam hal sejauh mana proses reformasi militer terwujud di Serambi Mekkah ini.

Sebelumnya dapat dipahami bahwa reformasi militer bukanlah perkara yang sederhana, Istilah reformasi militer memiliki beragam pemahaman. Namun dalam berbagai perdebatan utama, istilah reformasi militer terutama dikaitkan dengan dua pemahaman, yaitu (1) profesionalisme militer dan (2) hubungan sipil-militer yang ideal. Reformasi militer diarahkan untuk membangun militer yang professional. Definisi militer ideal adalah militer yang meiliki 3 karakter yaitu (1) ahli dalam bidangnya, (2) memiliki semnagat korps yang poistif, dan (3) mengetahui tempat dan fungsinya. Sedangkan kerangka hubungan sipil-milter ideal ditandai dengan hadirnya otoritas sipil dalam urusan-urusan non keamanan atau dikaitkan dengan hadirnya tatanan demokratisasi dalam penyelenggaran fungsi negara

Dalam perjalanan masa transisi hingga empat dekade usia perdamian di Aceh, reformasi militer di Aceh perlu dipertanyakan eksentensinya. Apakah kedua elemen sipil-militer tersebut dapat menepatkan diri pada ranahnya masing-masing, atau malah kedua belah pihak menepatkan agenda reformasi ini sebagai rekayasa politik saja.

Beberapa hal dan kondisi yang terjadi di Aceh seperti masih terjadinya tindak kekerasan dan lemahnya kinerja kepolisian untuk mengungkap semua kejahatan dan memberikan perlindungan hukum bagi rakyat Aceh mengantarkan fungsi perbantuan menjadi garda terdepan untuk pembenaran legalnya tumpang tindih kewenagan di Aceh.

Kondisi intervensi ini secara lahiriah terlihat dalam intervensinya TNI dalam hal pengamanan pemilu April 2009 yang lalu. Kemudian juga dalam proses pengamanan Pemilihan Presiden (Pilpres) dimana hampir seluruh wilayah pasukan TNI/Polri diturunkan yang berdampak terjadinya perubahan dalam struktur pengamanan di Aceh.

Disusul dengan intervensi TNI dalam ranah Syariat Islam, beberapa razia implementasi syariat Islam juga melibatkan TNI, contoh kasus razia berbusana muslim pada tanggal 1 Desember 2009 di Banda Aceh.

Faktalainya, dengan doktrin pertahanan Indonesia yang belum berubah juga membawa pembenaran untuk lebih memprioritaskan ancaman-ancaman internal bagi kedaulatan, keutuhan teritoial serta keselamatan bangsa dan Negara ketimbang ancaman persoalan eksternal.

Seperti fungsi pengamanan proyek vital yang dilakukan oleh Prajurit Batalyon Infanteri (Yonif) 116/Garda Samudera, Aceh Barat dikirim ke Lhokseumawe dan Aceh Utara untuk mengamankan proyek vital. Menurut Kasrem Letkol Mundasir mengatakan, mengamankan obyek vital merupakan aset negara sangat penting bagi kehidupan rakyat dan beroperasinya obyek vital menjadi modal pembangunan nasional. “Kewajiban kita untuk senantiasa meningkatkan kualitas dan profesionalisme sebagai prajurit. Kita harus selalu melaksanakan tugas sesuai hakikat kita sebagai TNI,”katanya.

Kemudian pengamanan TNI terhadap ExxonMobil, proyek vital nasional (provitnas) di Desa Alue Bungkoh, Kecamatan Pirak Timur dan kemudian berekses terjadinya tindak kekerasan terhadap masyarakat sipil yakni Seorang Anwar Abu Bakar (35), warga Alue Rime, Kecamatan Pirak Timur, Aceh Utara, yang terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Islam (RSI) Lhokseumawe, dipukuli sejumlah oknum TNI yang sedang mengamankan ExxonMobil, pada tanggal 20 Januari 2010 sekitar pukul 16.30WIB.

Terhadap kasus di atas secara legal hukum memang di atur dalam Pasal 7 UU No. 34 tentang Tentara Nasional Indonesia, akan tetapi kondisi tersebut menjadi sebuah tanggungjawab oleh TNI harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik Negara dan ini perlu dipertanyakan sejauhmana kondisi tersebut dalam mengancam keutuhan Negara. Sedangkan diketahui untuk wilayah Aceh secara legal menepatkan posisi TNI lebih dalam hal penjagaan eksternal sebagaimana yang diatur Pasal 202 Undang-undang Pemerintahan Aceh No. 11 Tahun 2006 dan juga tertuang dalam MoU Helsinki poin 4.1.1. “Tentara akan bertanggung jawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. Dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya tentara organik yang akan berada di Aceh.”

Fakta lainya, beberapa statemen dari pejabat militer juga sangat menggambarkan keinginan TNI masuk dalam ranah sipil seperti pernyataan Komandan Korem (Dandrem) 011/Lilawangsa, Kolonel Inf Bachtiar SIP dalam upaca peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) V Yonif 114/Satria Musara di Komplek Batalyon Infantri 114/SM Bener Meriah pada tanggal 2 Desember 2009. Menurut Dandrem, TNI diminta harus mampu melakukan penekanan angka pelanggaran di wilayah hukum tempatnya bertugas, sehingga dipastikan masyarakat merasa aman melakukan berbagai aktivitas sehari-hari tanpa ada gangguan. Bahkan dengan terjaminnya keamanan dan ketentraman, suatu daerah akan cepat berkembang.

Merujuk pernyataan yang dikeluarkan oleh Kasad Letjen TNI George Toisutta akan membawa dampak terhadap tumpang tindih fungsi pengamanan di wilayah Aceh. Hal ini jelas tertuang dalam UU UU No 2/2002 Tentang kepolisian Negara disebutkan bahwa Polri memiliki fungsi penegakan hukum, perlindungan masyarakat, mengayoman masyarakat, pelayanan masyarakat dan ketertiban umum. Sedangkan UU No 34/2004 Tentang tentara Nasional Indonesia disebutkan dalam pasal 7 bahwa TNI memiliki tugas untuk mempertahankan kedualatan nasional,melindungi kehormatan Negara,melindungi segenap bangsa .

Selanjutnya dalam UU No 11 Tahun 2006 tentang Undang- Undang Pemerintahan Aceh pada pasal 204 menyebutkan bahwa Kepolisian di Aceh bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,menegakkan hukum, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Dari aturan hukum tersebut jelas disebutkan bahwa secara hukum fungsi pengamanan tersebut adalah kewenagan pihak kepolisian dan bukan tugas pokok TNI.

Dalam hal tugas perbantuan TNI hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan dan keputusan politik pemerintah baik dari pemerintah pusat maupun permintaan pemerintahan daerah dengan memperhatikan perkembangan situasi keamanan dan tidak hanya serta merta dari permintaan pihak kepolisian saja. Hal ini jelas tertuang dalam pasal 4 TAP MPR No, VII tahun 2000 tentang peran TNI.

Keputusan dan permintaan dari pemerintah daerah tersebut dilakukan setelah ada penilaian baik dari pemerintah dan juga pihak kepolisian bahwa telah terjadi suatu keadaan gangguan keamanan di luar kemampuan kepolisian untuk menanganinya. Untuk sebuah akuntabilitas, permintaan dan keputusan tersebut harus dilakukan secara tertulis dengan memberikan rincian alasan perbantuan, wilayah perbantuan, tanggungjawab, rentang waktu, serta sumber dan besaran anggaran yang diperlukan.

Selain itu permasalahan siapa yang menjadi pimpinan dalam fungsi perbantuan dalam implementasi di lapangan juga harus diperjelas, hal ini agar tidak terjadi dua komando. Akankah kepolisian dibawah komando TNI atau sebaliknya TNI dibawah komando kepolisian.

Konsekwensinya jika dalam pelaksanaanya dilakukan oleh dua lembaga Negara dan tidak sesuai dengan aturan hukum yang mengikatnya secara langsung akan mengakibatkan perbuatan tersebut tidak mempunyai akibat hukum karena diluar kewenagan yang dimilikinya.Atau dengan kata lain jika fungsi perbantuan tersebut tidak di dukung dengan alas hukum yang jelas secara sendiri akan berdampak terhadap penilaian masyarakat terkait positioning Polri sebagai leading aktor dalam fungsi pengamanan dan pengayoman terhadap masyarakat di Aceh.

Diakhir tulisan ini penulis menyampaikan penghargaan atas proses berjalannya proses reformasi militer dan harapan penulis agar semua elemen masyarakat di Aceh dapat mendukung agenda reformasi ini sehingga menjadi sempurna dan sesuai dengan harapan demi keberlanjutan perdamaian di Aceh.