Pro dan Kontra Uji Materi UU Penodaan Agama

Syafri J Marrappa Koord. Informasi & Dokumentasi LBH Makassar

Terkait Undang Undang yang akan diuji, yaitu, Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, para pemohon yang terdiri dari Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Setara, Yayasan Desantara, dan YLBHI menghendaki pengujian pada Pasal 1, Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4a, dan Pasal 156 a tersebut dengan sembilan norma dalam UUD 1945, yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1). Serta, Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2). Serta, Pasal 29 ayat (2).

Pasal-pasal tersebut menunjukan norma-norma yang termuat dalam ketentuan tersebut dan diajukan uji materiil dinilai menunjukan adanya pembedaan dan atau pengutamaan terhadap enam agama yang diakui saat ini, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu, dibandingkan dengan agama-agama atau aliran keyakinan lainnya. Bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Dr Moh. Mahfud MD, menjamin lembaga yang dipimpinnya akan mengkaji Undang-undang (UU) Nomor 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama secara serius. Adanya perhatian dan seriusnya MK terhadap persoalan ini rencana  akan mengundang 60 ahli untuk mengkaji undang undang tersebut. Bahkan mendatangkan ahli HAM dan Kebebasan Beragama dari AS Cole Durham melalui teleconfrens. Jadi 9 ahli akan didatangkan oleh pemohon Samsuddin Rajab (PBHI) dkk, 19 ahli akan didatangkan pihak pemerintah dan 31 ahli akan didatangkan oleh MK, dan Cole Durham / www.antaranews.com  2 Februari 2010.

Gelombang protes terhadap pencabutan dan perubahan UU tersebut dari kalangan organisasi islam misal NU, Muhammadiyah, Front Pembela Islam (FPI) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan organisasi islam lainnya menjadi perhatian khusus.. Pertanyaan kemudian adalah ada apa dengan undang undang penistaan dan penodaan agama?. Apa yang kemudian menjadi latar belakang sikap pemohon dalam melakukan uji materi undang undang itu?. Apakah ini ada kehawatiran ketika undang undang itu dicabut atau dilakukan perubahan?. Bagaimana ketika itu dikembalikan kepada masyarakat dalam menyikapi itu. Apakah menolak atau mendukung pencabutan dan perubahan undang undang tersebut. Untuk menjawab pertanyaan itu menurut penulis terjadi perbedaan persepsi dan perspektif antara kelompok pemohon penguji materi undang undang penodaan agama dengan kelompok yang menolak penghapusan dan perubahan undang undang tentang penyalahgunaan dan penodaan agama tersebut.

Hal menjadi latar belakang pemohon dalam melakukan uji materi undang undang tersebut karena melihat melanggar HAM terhadap kebebasan beragama, dinilai tidak lagi relevan dengan prinsif prinsif demokrasi dan sekaligus tidak sejalan dengan semangat konstitusional Indonesia. Undang undang tentang penodaan agama itu dibuat karena kekuasaan presiden terlalu besar dan dikeluarkan pada masa darurat juga termasuk alasan yang penulis kemukakan dari awal paling mendasar bahwa undang undang tersebut sagat diskriminatif. Hal berbeda dari pihak pemerintah melalui Menteri Agama Surya Darma Ali mengatakan bahwa pemohon tidak punya legal standing  dan tidak melihat kerugian konstitusional pemohon dan undang undang tersebut sudah melalui proses legislative review Sehingga UU ini sudah sesuai dengan aturan untuk menjadi sebuah Undang Undang.

Tapi apapun alasannya bahwa uji materi (judicial review) peraturan presiden No 1. PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui undang undang No 5 tahun 1969 membahas tentang penistaan dan penodaan agama memang mengundang pro dan kontra tetapi menurut penulis bahwa ada ketentuan dalam pasal 1 undang undang tersebut yang berbunyi: "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatannya". Selain itu Pasal 2 Ayat (1) dan (2), Pasal 3, serta Pasal 4a yang mengatur ancaman pidana atas pelanggaran Pasal 1. Disebutkan, pelanggaran pidana diancam dengan hukuman penjara maksimal lima tahun. Ketentuan tersebut jelas jelas melanggar kebebasan memeluk agama dan keyakinan yang dijamin konstitusi. Pasal 1 undang undang itu menyebutkan secara jelas agama yang dimaksud adalah agama yang dianut di Indonesia. Pada bagian penjelasan pasal 1 disebutkan, agama yang dianut ada enam Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Ditambah lagi lima, diantaranya Shinto, Yahudi, dan Taoism jadi total berjumlah 11. Pembatasan ini menurut penulis melanggar kebebasan dan diskriminatif.

Istilah `Agama" dan "keyakinan" harus ditafsirkan secara luas namun, berdasarkan undang undang No 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama UU No 1/PNPS/1965, Departemen Agama hanya mengakui 6 (enam) agama secara resmi yaitu islam, katolik, protestan, Budha, Hindu, dan Konghucu undang undang ini juga menyebutkan larangan melakukan penafsiran atau kegiatan yang menyimpang dari pokok pokok ajaran agama. Dengan demikian, undang undang No 1/PNPS/1965 menandakan bahwa persepsi Negara tentang agama masih didominasi oleh pemahaman arus utama yang menyatakan bahwa suatu agama harus memiliki Tuhan, Nabi, dan kitab suci.

Pengakuan enam agama resmi ini disertai dengan didirikannya lembaga lembaga agama resmi yaitu MUI (Majelis Ulama Indonesia) KWI (Konfrensi Waligereja Indonesia), PGI (persekutuan gereja gereja Indonesia), Walubi (Perwakilan umat budha Indonesia), Parisada Hindu Dharma Indonesia, dan Matakin (Majelis Tinggi Hukum Indonesia). Jangkauan kerja lembaga lembaga tersebut mencakup penafsiran ajaran agama, dan penyelesian sengketa internal dan eksternal agama. Dengan demikian, lembaga ini dipercaya sebagai pemegang otoritas agama di Indonesia.

Korban dari undang undang No 1/PNPS/1965 serta didirikannya lembaga lembaga agama resmi ini adalah penganut agama atau keyakinan di luar enam agama  yang diakui. Belum lagi orang yang tidak beragama. Diawal orde baru orang diwajibkan beragama dan kalau tidak maka orang akan dengan mudah dituduh PKI (Partai Komunis Indonesia). Maka segera setelah 1965, banyak sekali orang yang "masuk Agama resmi". Bagi pemeluk agama atau keyakinan di luar agama yang diakui pemerintah, misalnya komunitas masyarakat adat, mereka sering dituding sebagai pemeluk agama sempalan yang harus kembali ke agama induknya, sebagai pengganggu ketertiban umum, penoda agama resmi, kelompok yang yang belum beradab dan sebagainya. Bahkan aliran kepercayaan dipandang sebagai budaya, bukan sebagai agama.

Akibat kerumitan kerumitan diatas, banyak orang dari kelompok kepercayaan mengambil jalan pintas. Mereka mengisi kolom agama dalam akta sipil dengan salah satu agama yang diakui Negara, atau menikah berdasarkan agama tertentu. Langkah langkah ini diambil hanya untuk menghindari berbagai kesulitan yang harus mereka hadapi saat berhadapan dengan birokrasi Negara.
Sementara itu, Negara juga mengambil jalan pintas dengan menggolongkan banyak kepercayaan lokal kedalam salah satu agama yang sudah diakui. Hal ini misalnya, tercermin pada kebijakan Departemen Agama (Depag) terhadap masyarakat Tolotang disulawesi selatan. Komunitas ini diletakkan oleh Depag dibawah pengawasan Dirjen Bimas Hindu Budha berdasarkan SK No 2 dan 6 tahun 1966 yang tugasnya melakukan pembinaan serta penyuluhan terhadap umat hindu tolotang. Maka, akibatnya masyarakat adat tolotang diwajibkan beribadah di Pura dengan ritual seturut agama hindu bali yang sama sekali asing bagi mereka. http://www.kontras.org, bahkan didaerah lain dilaporkan bahwa penghayat dibujuk untuk melakukan nikah massal menurut agama islam dan dilarang memakamkan jenazah dipemakaman umum.

Jadi bagaimanapun hak kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak yang tidak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh Negara dalam keadaan apapun. Negara tidak boleh menetapkan mana ajaran agama yang harus dan tidak harus dilakukan oleh warga Negara. Setiap warga Negara mesti mendapatkan hak kebebasannya dalam menentukan pilihan agamanya.

Oleh karena itu, menyikapi persoalan mengenai undang undang penodaan agama itu penulis sepakat dengan apa yang dikatakan oleh seorang budayawan Emha Ainun Nadjib saat menjadi ahli dalam sidang uji materil bahwa undang undang penodaan agama masih belum baik " Tapi tidak mesti dicabut, perlu dialog terlebih terdahulu sebelum dicabut apakah langsung direvisi atau disiapkan undang-undang yang baru,"