Munir, Aktivis Pejuang HAM

Oleh: Siti Muyassarotul Hafidzoh *

Judul buku     : Keberanian Bernama Munir 
Penulis           : Meicky Shoreamanis Panggabean
Penerbit          : Mizan Bandung
Cetakan          : 1, 2009
Tebal               : 289 halaman

Siapa yang tidak kenal Munir? Walaupun tubuhnya kecil lagi ringkih, namun karena semangat perjuangannya menegakkan hak asasi manusia (HAM) yang tak kenal lelah, sosoknya menjadi sangat fenomenal. Hampir dalam diskusi dan seminar yang mengkaji masalah HAM, bisa dipastikan akan kemunculan Munir, atau kalau tidak ada Munir secara fisik, maka disitu ada roh perjuangan Munir yang dijadikan teladan. Kini Munir sudah tidak ada lagi. Dia meninggalkan para pejuang HAM untuk selamanya diatas benua Eropa pada 7 September 2004, dimusim gugur, ketika daun perlahan layu dan akhirnya gugur-seperti Munir itu sendiri yang gugur dalam pesawat GA-974. Semua merasa merasa kehilangan, terlebih mereka yang selama ini hak-haknya dirampas dengan semena-mena.

Banyak para sahabat, guru, dan tokoh-tokoh yang simpatik dan apresiatif terhadap sosok fenomenal, Munir. Hampir semua dari mereka “membabtis” Munir sebagai maestro pejuang HAM sejati. Dialah tokoh yang paling berani menentang otoritarianisme Orde Baru. Bahkan, walaupun saat itu militer menjadi “penguasa” yang sangat ditakuti, Munir berani menuduh secara terang-terangan akan berbagai tindak kejahatan yang dilakukan militer. Bagi Munir, sulitnya penegakan HAM karena harus bertabrakan dengan tembok yang tebak, yang sulit dituntuhkan. Sangat jelas, yang dimaksudkan tembok tersebut adalah kaum militer. Karena waktu itu Munir sering konflik panas dengan para petinggi militer. Sehingga tidak salah kalau Faisal Basri dalam buku in menceritakan bahwa Munir pernah tidak diperbolehkan masuk Hotel untuk menghadiri pertemuan antara Faisal sendiri dengan petinggi TNI.

Buku ini hadir melihat sosok Munir sebagai pejuang HAM muda yang paling berkarakter. Karir Munir sangat cepat. Karena keuletan dan kesungguhan serta kesiapan menangani apa saja yang ditugaskan kepadanya, Munir menjadi sosok progresif yang selalu menggetarkan semua pihak. Karena itu, di LBH dia diserahi KontraS, yang konsentrasinya menegakkan hak asai orang-orang ang diculik, yang hilang tak tentu rimbanya, yang dibunuh dan mati tak tentu kuburnya. Sepanjang tahun 1996-1998, nama Munir sudah berkibar dan hampir setiap kali muncul diberbagai media massa dengan kegigihan dan keberaniannya membongkar dan mengungkapkan ke permukaan berita-berita tentang kasus penculikanb para aktivis prodemokrasi dan HAM. Melekatlah nama KontraS itu dengan Munir. Disitu ada KontraS, disitu ada Munir. Demikian juga sebalkinya.

Melihat kegigihannya ini, Munir sebagai perjuangan melapan lupa, atau sebagai kitab melawan lupa. Pandangan ini didasarkan pada catatan Milan Kundera dalam bukunya, The Book of Laughter and Forgetting, yang mengatakan bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa-kalimat yang sering dikutip para ilmuan Indonesia . Bangsa ini memang kerap dituduh bangsa yang lupa. Lupa atas dosa-dosa masa lalu, kekerasan-kekerasan masa lalu, dan berbagai penyimpangan masa lalu. Munir selalau tampil dan mengingatkan semua agar tidak lupa. Persoalan dengan hak asasi manusia, demokrasi, kekerasan, dan lain-lain adalah “kekuasaan” melawan lupa. Ya, ibarat sebuah kitab yang tidak lekang oleh ruang dan waktu, almarhum Munir hendak melawan tindakan “mematikan ingatan’ dari masyarakat tentang peristiwa kekerasan dan kekejian lain. Buku ini tidak hanya mengajak kita mempertahakan ingatan, tetapi sekaligus perlawanan kita terhadap lupa.

Kematian bukanlah sekedar kita mengenang sosok fenomenal, Munir, namun juga ingin membangun kembali spirit perjuangan Munir. Atau dalam bahasa Gus Mus dalam salah satu puisinya, mungkinkah pohon yang kau dirawat selama ini akan bersemi? Mampukah perjuangan HAM Munir yang lintas sektoral, bahkan lintas agama dalam pengamatan Saptaatmaja, disemikan dan disegarkan kembali untuk meruntuhkan otoritarisme kekuasaan. Bagaimana nasib orang-orang miskin dipinggiran perkotaan, dan dimana saja yang sekarang sedang dililit ketertindasan, harus diperjuangan?

Barang kali, kalau Munir masih hidup, berbagai kasus pelik pelanggaran HAM ini akan diperjuangkan habis-habisan. Untuk itu, kita para penerusnya harus tetap konsisten dalam mengawal perjuangan reformasi yang belum usai ini.

*penikmat buku