Korban Pelanggaran HAM PTUN-kan Kepres TNI Aktif Jadi Pejabat Sipil

Jakarta – Perwakilan korban pelanggaran HAM  mendaftarkan gugatan terhadap Keputusan Presiden RI No 3/P/2010 ke Pengadilan Tata Usaha Negara-(PTUN) Jakarta. Kepres itu dinilai tidak demokratis.

"Keppres tersebut melanggar undang-undang karena mengangkat seseorang dengan status TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil sekaligus jabatan politik melalui pengangkatan Presiden," kata Koordinator Kontras Usman Hamid dalam siaran pers yang diterima, Senin (5/4/2010).

Kepres dimaksud berisi Pengangkatan Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Wakil Menteri Pertahanan, serta pejabat lain seperti Lukita Dinarsyah Tuwo, sebagai Wakil Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional serta Fasli Jalal sebagai Wakil Menteri Pendidikan Nasional.

"Pengangkatan TNI aktif ini juga kian menimbulkan pertanyaan besar karena nama orang tersebut tergolong ke dalam nama yang patut diperiksa lewat proses penyidikan karena dinilai bertanggungjawab atas setidaknya tiga peristiwa utama yaitu penculikan aktivis, penembakan mahasiswa dan kerusuhan Mei 1998," terang Usman.

Kasus ini didaftarkan sesuai nomor registrasi perkara 51/G/2010/PTUN.  Presiden dinilai tidak peka terhadap semangat demokratisasi yang hendak dibangun dalam era reformasi yang menghendaki supremasi sipil.

"Dengan pengangkatan ini, Presiden jelas tak memperhatikan laporan-laporan
penyelidikan Komnas HAM," tambahnya.

Lalu mengapa baru diajukan sekarang?

"Kami semula menunggu terbitnya keputusan Presiden tentang Pengadilan HAM ad hoc bagi kasus penculikan, sebagai tindak lanjut atas rekomendasi DPR, 28 September 2009. Gugatan baru diajukan setelah sekian lama mempertimbangkan manfaat positif dan pengaruh negatif dari saat menunggu tersebut, sehingga baru diajukan menjelang berakhirnya masa waktu gugatan," terangnya.

Dasar hukum yang menjadi pertimbangan gugatan mengacu pada delapan produk hukum antara lain UU No 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara2. UU No. 28 Tahun 1999 tentang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan UU No. 39/1999 tentang HAM.

(ndr/nwk)

Korban Pelanggaran HAM PTUN-kan Kepres TNI Aktif Jadi Pejabat Sipil

Jakarta – Perwakilan korban pelanggaran HAM  mendaftarkan gugatan terhadap Keputusan Presiden RI No 3/P/2010 ke Pengadilan Tata Usaha Negara-(PTUN) Jakarta. Kepres itu dinilai tidak demokratis.

"Keppres tersebut melanggar undang-undang karena mengangkat seseorang dengan status TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil sekaligus jabatan politik melalui pengangkatan Presiden," kata Koordinator Kontras Usman Hamid dalam siaran pers yang diterima, Senin (5/4/2010).

Kepres dimaksud berisi Pengangkatan Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Wakil Menteri Pertahanan, serta pejabat lain seperti Lukita Dinarsyah Tuwo, sebagai Wakil Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional serta Fasli Jalal sebagai Wakil Menteri Pendidikan Nasional.

"Pengangkatan TNI aktif ini juga kian menimbulkan pertanyaan besar karena nama orang tersebut tergolong ke dalam nama yang patut diperiksa lewat proses penyidikan karena dinilai bertanggungjawab atas setidaknya tiga peristiwa utama yaitu penculikan aktivis, penembakan mahasiswa dan kerusuhan Mei 1998," terang Usman.

Kasus ini didaftarkan sesuai nomor registrasi perkara 51/G/2010/PTUN.  Presiden dinilai tidak peka terhadap semangat demokratisasi yang hendak dibangun dalam era reformasi yang menghendaki supremasi sipil.

"Dengan pengangkatan ini, Presiden jelas tak memperhatikan laporan-laporan
penyelidikan Komnas HAM," tambahnya.

Lalu mengapa baru diajukan sekarang?

"Kami semula menunggu terbitnya keputusan Presiden tentang Pengadilan HAM ad hoc bagi kasus penculikan, sebagai tindak lanjut atas rekomendasi DPR, 28 September 2009. Gugatan baru diajukan setelah sekian lama mempertimbangkan manfaat positif dan pengaruh negatif dari saat menunggu tersebut, sehingga baru diajukan menjelang berakhirnya masa waktu gugatan," terangnya.

Dasar hukum yang menjadi pertimbangan gugatan mengacu pada delapan produk hukum antara lain UU No 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara2. UU No. 28 Tahun 1999 tentang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan UU No. 39/1999 tentang HAM.

(ndr/nwk)