YLBHI: Hukuman Mati Tak Buat Jera Koruptor

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M Zein mengatakan, pihaknya menentang hukuman mati bagi terpidana korupsi. Patra mengatakan, penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menunjukkan, tidak ada data statistik yang valid bahwa penerapan hukuman mati berbanding lurus dengan turunnya tingkat tindak pidana korupsi. "Keduanya tidak berbanding paralel," ujar Patra ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (6/4/2010) di Jakarta.

Patra juga menilai bahwa penerapan hukuman mati agar ada efek jera adalah konsep pemikiran yang tidak tepat. "Tujuan memberikan hukuman adalah untuk memperbaiki seseorang agar menjadi lebih baik, bukan untuk balas dendam," ujarnya.

Soal adanya beberapa terpidana korupsi yang tetap "bergerilya" dari dalam sel penjara, kata Patra, hal ini bukan sepenuhnya kesalahan yang bersangkutan. Sistem di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan perlu diperbaiki. Pengawasannya pun perlu ditingkatkan.

Patra juga mengatakan, selama sistem peradilan di Indonesia bobrok dan korup, vonis hukuman mati tidak diterapkan. "Penjatuhan vonis mati bisa menjadi motif pembungkaman agar yang bersangkutan tidak buka mulut terhadap kasus yang lebih besar dan kontroversial," imbuhnya.

Dia menekankan, YLBHI menentang vonis mati bagi terpidana korupsi. Baginya, vonis mati menentang hak asasi manusia universal. Selain itu, vonis mati merupakan hukuman yang tidak bisa dikoreksi jika suatu saat nanti yang bersangkutan ternyata tidak bersalah.

Secara terpisah, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid, mengatakan bahwa pelaksanaan hukuman mati di China dan Latvia pun hingga kini masih menuai protes. Pelaksanaannya dinilai masih bersifat tebang pilih dan dijatuhkan pada figur-figur tertentu saja.

Di negara-negara Skandinavia dan Eropa barat, yang tidak mengenal hukuman mati, tindak pidana korupsi rendah. "Yang terpenting adalah kebersihan aparat penegak hukum," ujarnya.