Reformasi Birokrasi Kepolisian Sejati

Oleh : Tongam Panggabean

Reformasi birokrasi negara dari pusat sampai daerah menjadi salah satu program kerja pada setiap masa pemerintahan selama hampir 12 tahun pasca reformasi di negeri ini, namun kita belum melihat upaya reformasi birokrasi sejati.

Padahal jika banyak hal yang menjadi kegagalan dari masa lalu sampai masa kini, maka hampir semua berasal dari impotensi birokrasi dalam pengabdian, pengayoman dan pelayanannya terhadap rakyat.

Tentunya rakyat akan dibuat semakin kebingungan. Dimana, kapan dan bagaimana sebenarnya reformasi sejati itu benar-benar terwujud?. Sementara di tataran elit sering terjadi kisruh yang berkepanjangan. Sikut-menyikut kepentingan. Ibarat opera sabun yang kita tidak akan tahu kapan dan bagaimana akhir kisahnya. Inilah bukti betapa bobrok dan busuknya birokrasi kita. Juga menunjukkan bahwa telah terjadi perselingkuhan yang mesra di dalam birokrasi negara, dalam hal ini dirjen perpajakan dengan lembaga hukum.

Tanpa bermaksud menafikan reformasi di seluruh birokrasi pemerintahan terutama lembaga hukum lainnya, dalam kesempatan ini ada baiknya saya akan fokus membahas reformasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Pertama karena di hampir semua kasus korupsi yang terjadi belakangan Century gate dan perpajakan) ini selalu melibatkan polisi. Kedua karena reformasi kepolisian tahun 2002 ternyata gagal. Kepolisian sebagai aparat hukum yang seharusnya menegakkan hukum justru ditengarai menjadi salah satu pengayom, abdi dan pengaman setia koruptor. Padahal seharusnya fungsi polisi adalah pengayom dan abdi negara. Apalagi sejak dipisah dari ABRI, polisi seharusnya melaksanakan tugasnya sebagai keamanan dalam kehidupan masyarakat.

Jika mengingat kembali rentetan peristiwa sebelumnya yang juga melibatkan pihak kepolisian yakni Century gate. Kasus yang juga menyeret nama-nama perwira polisi di negara ini. Dimana rentetannya bermula dari polemik cicak vs buaya dan kriminalisasi dua wakil ketua KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamza. Lalu disusul dengan booming pansus DPR Bank Century hingga terakhir di serahkan kepada penegakan hukum semakin melemah hingga saat ini. Kepolisian sebagai lembaga penegak hukum telah terbukti lambat dan gagal mengungkap kasus tersebut

Rasanya semakin ironis, kasus korupsi pajak di direktorat pajak kementerian keuangan dengan Gayus Tambunan sebagai tersangka justru menyusul dan menciderai harapan rakyat. Semenjak terkuak ke permukaan, kasus ini tidak hanya menyeret nama-nama pejabat ditjen perpajakan tetapi juga nama-nama pejabat kejaksaan, kehakiman. Lagi-lagi beberapa perwira tinggi/menengah polisi RI terlibat. Bahkan dari temuan sementara ini banyak pihak menengarai kemungkinan sebagai korupsi sistemik.

Pelanggar HAM

Sebenarnya banyaknya pelanggaran hukum oleh aparat penegak hukum khususnya kepolisian sudah menjadi rahasia umum. Pelanggaran selama ini adalah ibarat fenomena gunung es. Dari kepolisian pusat (polri), propinsi (polda), Kabupaten/kota (polres) sampai kecamatan (polsek) rentan dengan pelanggaran yang menjurus kepada pengabaian HAM. Data-data hasil monitoring dapat kita lihat dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) membuktikan bahwa kasus-kasus pelanggaran hukum di lingkungan lembaga kepolisian sering terjadi. Motif dan trennya pun bahkan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Maka tidaklah mengherankan lagi jika beberapa hari belakangan ini terkuak ke permukaan dan menjadi konsumsi publik di media massa.

Menyangkut kasus pajak, terkuaknya permasalahan pelanggaran oleh Polri ini apabila ditinjau secara kritis bukanlah prestasi atau usaha dari pemerintah untuk serius memberantas mafia-mafia hukum. Ini lebih diakibatkan adanya konflik internal yang masif di jajaran kepolisian itu sendiri terutama antara beberapa perwira tingginya. Jika kita ingat bahwa terungkapnya korupsi pajak ini adalah pertama kali oleh mantan kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komjen Susno Duaji.

Menurut catatan Komnas HAM hingga Desember 2009, aparat hukum terutama kepolisian adalah pihak yang paling banyak melakukan pelanggaran terhadap HAM. Pelanggaran itu dilihat dari laporan pengaduan masyarakat ketika dalam proses memperoleh keadilan. Pada penghujung tahun 2009 saja ada 1.845 pengaduan soal memperoleh perlakuan hukum yang adil 1.652 pengaduan soal hak atas kesejahteraan. Banyak laporan pengaduan hak untuk memperoleh keadilan yang berkaitan dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap sikap kepolisian.

Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum kepolisian tersebut juga terjadi dalam konteks pembebasan tanah, penangkapan dalam kasus pidana, pemberantasan teroris dan perlakuan terhadap tahanan di penjara. Dalam menghadapi kejahatan ringan juga sering terjadi korban salah tangkap, mengalami kekerasan di luar jalur hukum.

Tidak usah jauh-jauh, di Sumatera Utara sendiri bisa kita lihat secara jelas. Dalam konteks pembebasan tanah, kepolisian sering bertindak diskriminatif. Peran mengayomi masyarakat justru sangat minim. Kita sebut saja salah satunya penangkapan petani kemenyan yang berkonflik dengan PT TPL di Kabupaten Humbang Hasundutan oleh Polres setempat. Nyatanya, kasus itu berbuntut unjuk rasa oleh para petani kemenyan. Tujuh orang di tahan dan kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Namun kemudian mereka dilepas setelah mendapat sorotan dari petani lainnya dan elemen masyarakat yang peduli. Tentu kita bertanya, ada apa di balik ini semua, adakah permainan kotor dalam kasus ini, mengingat lawan petani adalah korporasi besar yang bisa saja membungkam kepolisian bahkan malah berbalik menyerang para petani.

Sementara KontraS menyebutkan bahwa salah satu motif pelanggaran HAM oleh polisi adalah pembiaran kasus. Motif dengan tujuan mengulur waktu dan energi sehingga pelakunya tidak terungkap ini sering terjadi. Sebut saja pada kasus kematian pengacara Adi SH yang diduga dibunuh pada 18 Juni 2005 di Medan. Sampai sekarang hampir 5 tahun kasus ini belum juga terungkap. Pembiaran kasus sudah tentu menyalahi tugas kepolisian dan melanggar hak asasi korban dan keluarga untuk mendapatkan kejelasan dan keadilan hukum.

Reformasi Sejati

Ada motif dan tren umum yang sering kita jumpai terkait dengan proses hukum terhadap aparat kepolisian yang diduga terlibat dalam pelanggaran hukum. Contoh kasus kita lihat dari kasus korupsi pajak ini. Secara umum hampir tidak ada tindakan tegas terhadap oknum pelakunya. Secara umum yang ada adalah pemberian sanksi disiplin berupa mutasi dan di-nonjob-kan. Sementara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang selama ini menjadi pengawas pelaksanaan tugas kepolisian hanya memiliki wewenang untuk memberikan rekomendasi kepada pimpinan kepolisian untuk menindak bawahannya.

Jika pun ada yang divonis hukuman masih tergolong ringan seperti dalam kasus korupsi pembobolan BNI tahun 2006. Tiga perwira tinggi, Irman Santoso (vonis 2 tahun 8 bulan penjara), Samuel Ismoko (vonis 20 bulan penjara) dan Suyitno Landung 18 Bulan penjara. Sementara di seluruh wilayah Indonesia masih banyak oknum polisi yang terbukti melakukan tindak kekerasan ketika bertugas, pelanggaran disiplin, kesalahan tangkap dan rekayasa kasus tidak transparan proses hukumnya kepada publik. Maka secara internal, reformasi kepolisian sejati hendaknya dilakukan dengan memperkuat wewenang kompolmas dan transparansi publik.

Di samping itu, perlu ada kontrol dari masyarakat. Baik oleh lembaga-lembaga organisasi non-pemerintah (Ornop), mahasiswa, organisasi agama dan organisasi masyarakat (ormas) prodemokrasi lainnya. Untuk mendukung itu, tentunya masyarakat harus mendapat pengetahuan hukum sehingga tidak menjadi korban dari penegak hukum yang tidak bertanggung jawab. Melakukan pendampingan terhadap masyarakat terutama korban-korban hukum juga mutlak dilakukan.

Dengan belajar dari pengalaman yang telah dilalui hingga saat ini, kita hendaknya tidak jatuh lagi ke dalam lumpur yang sama. Reformasi birokrasi negara sejati terutama di kepolisian RI mendesak untuk direalisasikan. Sehingga peran pejabat sebagai pengemban amanat rakyat tidak sebatas slogan atau mimpi. Rakyat berhak bebas dari segala bentuk ketertindasan.***

Penulis adalah aktivis Perhimpunan Suluh Muda (PRISMA) Medan.