Keluarga Tersangka Teroris Lapor ke Komnas HAM

BANDARLAMPUNG – Ali Butho and Partners, kuasa hukum Qomarrudin dan Heru Liyanto, tersangka teroris asal Lampung, kembali kecewa dengan keputusan Mabes Polri. Tujuan mereka mempertemukan keluarga dengan tersangka batal. Mabes beralasan seluruh tersangka telah diserahkan kembali ke Polda Aceh untuk pengembangan penyidikan.

’’Isyarat ini sebuah pertanda bahwa kasus teroris di Indonesia benar-benar pelik dan hanya Polri yang memiliki hak dalam penanganannya. Entah kapan keinginan keluarga (bertemu) bisa terwujud?” terang Mahlizar Ali Butho kepada Radar Lampung kemarin (23/4).

Karena berulang kali mendapat jawaban pahit seperti itu dari Staf Khusus Mabes Polri Kombespol Zulkarnaen, pihaknya berencana melaporkan hal ini ke Komnas HAM. Ini merupakan buntut kekecewaan dari keluarga atas perlakuan hukum yang begitu tendensius.  

’’Mungkin besok (hari ini), kami laporkan semua persoalan yang menyangkut hak-hak keluarga dan tersangka yang dituduh pelaku teroris itu ke Komnas HAM. Modal kami hanya keberanian dan niat baik. Tak ada maksud lain dalam perkara terorisme ini,” tegasnya.

Ali Butho juga mengkritisi pernyataan Kepala Desk Antiteror Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Ansyaad Mbai yang mengusulkan perubahan waktu penahanan dari 7 x 24 jam menjadi dua tahun. ’’Kalau dia (Aryad) mencontohkan Singapura dan Malaysia, jelas ini tidak relevan dengan UUD 1945. Di mana nilai kemanusiaannya?” sindirnya.

Menurut Ali, aturan yang ada saat ini pun belum tepat. Masa penahanan yang diatur undang-undang tersebut sudah melampaui ketentuan dalam hukum pidana umum, yakni 1 x 24 jam. ’’Jadi, ide perpanjangan masa penahanan tidak perlu,” jawabnya.

Selama ini undang-undang terorisme belum mengadopsi hak rakyat sipil yang bisa menjadi objek terorisme. ’’Dari sisi cakupan terorisme, perlindungan atau pengakuan HAM bagi masyarakat yang dapat menjadi objek teroris belum bisa terakomodasi,” terangnya.

Crisbiantoro, wakil kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, menambahkan, prosedur penangkapan, penahanan, dan hal-hal yang berkaitan dengan penanganan kasus terorisme yang terjadi di Aceh maupun Medan baru-baru ini telah melanggar HAM (hak asasi manusia).

Contoh konkret terjadi pada Heru bin Kaman, warga Jl. Bupati Surya  Rt 05/Rw 02, Desa Purworejo, Kecamatan Negerikaton, Pesawaran. Hal serupa juga dialami Qomarrudin, warga Jl. Pulau Belitung Lk. 1 Rt 003/Rw 002, Sukabumi, Bandarlampung. Prosedur yang diterapkan jauh dari ketentuan pedoman administrasi penanganan perkara yang bersumber dari KUHAP jo UU No. 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.  

’’Kontras sudah bersikap dan bertindak setalah adanya pengaduan itu. Mabes Polri tetap pada kesimpulan awal. Mereka belum bersedia mempertemukan tersangka teroris asal Lampung dengan pihak keluarga. Cara ini jelas kami kecam,” terang Crisbiantoro.  

Minta Perlindungan Hukum
Setelah istri Qomarrudin dan Heru Liyanto, Siti Rahayu (31) –istri Ali Umar alias Abu Barok (35), tersangka teroris yang diamankan Densus 88 Antiteror Mabes Polri– juga meminta perlindungan hukum dengan Ali Butho and Patners.

Surat kuasa warga Dusun Sidorejo Rt 02/Rw 06, Labuhanratu, Wayjepara, Lampung Timur, itu diberikan sebagai hak retensi, pelimpahan wewenang baik sebagian maupun seluruhnya atas tindakan hukum atas penangkapan pada 12 Maret 2010 di Gunung Bun, Jalinjantho, Acehbesar.

Selain itu, Siti juga menyerahkan bukti-bukti penangkapan dari Polda Aceh dengan Nomor: Sprin Han/38/III/2010/Ditreskrim  yang dikeluarkan 19 Maret 2010. Lalu, surat perintah penangkapan dengan Nomor SP.Kap/41/III/2010/Ditreskrim tertanggal 12 Maret 2010. Kedua surat itu ditandatangani Dirreskrim Polda Aceh Kombespol Drs. Esa Permadi.

Ali Butho menjelaskan, penyerahan kuasa tersebut dilakukan pada Rabu (21/4). Dalam surat itu tertera nama Ipda Khairil Anwar yang ditugaskan melakukan penangkapan terhadap pria kelahiran 12 Juni 1975.

Siti juga menyerahkan surat penahanan yang dikeluarkan Polda Aceh. Dalam surat itu tertera dua nama anggota Polda Aceh, yakni Brigadir Zainur Fauzi dan Briptu Andra Pilyadi. Keduanya mendapat mandat untuk menahan Ali Umar yang diketahui beridentitas warga Jl. Pramuka, Desa Srimenanti, Wayjepara, Lamtim.

Dalam surat penahanan disebutkan, Ali Umar diduga melakukan tindak pidana terorisme, pemufakatan jahat, percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme.

Ali juga dituduh telah menyembunyikan pelaku tidak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 Perppu No. 1/2002 yang ditetapkan dalam UU RI No. 15/2003 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme.

Dalam keterangan yang diterima, Ali Umar memempati rumah tahanan Polda Aceh terhitung mulai 19 Maret 2010 sampai 17 Juli 2010. (ful/ade)