Mari “Mengaji” pada Andi Nurpati

Mari kita ”mengaji” pada Andi Nurpati, Usman Hamid, dan Ulil Abshar Abdalla. Dari ketiga tokoh itu, terhampar bacaan mengenai semangat anak-anak muda, kekuasaan, serta bagaimana mendekati, meraih, dan menyikapinya. Bergabungnya Nurpati, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat ke Partai Demokrat masih menjadi perbincangan yang mengguncangkan jagat ketatanegaraan kita. Utamanya terfokus pada tata cara, sikap, disiplin, dan penghayatan mengenai kepatutan. Mengapa kita melibatkan dua nama yang lain?

Ulil Abshar kita sebut, karena sejauh ini kiprah tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) itu terjaga dari tarikan kekuasaan, setidak-tidaknya partai politik. Memperjuangkan pendidikan politik dalam memaknai demokrasi memang ya, tetapi tidak dalam lahan politik praktis. Maka kebersediaannya bergabung dengan parpol jelas mengejutkan. Namun kita memahaminya sebagai hak, apalagi ketika dia berharap menemukan pencerahan dinamika perjuangannya melalui medan yang baru. Ada pertimbangan intelektual, personal, dan sosial.

Usman Hamid kita bandingkan sebagai sosok yang menolak bergabung. Godaan, menurutnya memang ada, namun dari kisahnya tentang pertimbangan lewat 1.500 pesan pendek, ada kekuatan moral yang layak kita garisbawahi. Usman mempertimbangkan kata akhir pilihan hatinya dari keluarga salah seorang korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dia dampingi, ”Jika Anda masuk, lalu siapa yang akan mendampingi saya?” Kalimat itu menyentuh nuraninya, dan Usman pun memutuskan tetap berjuang dari habitatnya sendiri.

Dari ketiga tokoh itu, kita mencoba untuk memandang perjuangan bagi rakyat — sebagai muara normatif yang sering dijargonkan — memang bisa dilakukan lewat jalur apa saja. Andi Nurpati pernah berkiprah lewat KPU, Ulil Abshar dengan JIL yang membangun pencerahan bagi gerakan masyarakat sipil, dan Usman Hamid dalam penegakan HAM. Seorang sejawatnya, Rachland Nasidik memutuskan yang berbeda, dan kita melihatnya sebagai hak, kendati tetap mempertanyakan: efektifkah perjuangan penegakan HAM melalui parpol?

Tak ada persoalan bagi Ulil, Rachland, juga mungkin aktivis yang lain. Juga respek patut kita sampaikan kepada Usman Hamid yang konsisten dengan pilihannya. Terhadap Andi Nurpati kita menemukan kelokan berbeda, yang tidak memberikan pembelajaran keteladanan bagi semangat generasi muda dalam kiprahnya. Pertanyaan-pertanyaan di seputar netralitasnya ketika menjadi anggota KPU, ketidakkonsitenan untuk menyelesaikan khidmat di lembaga tersebut, dan banyak pernik lain yang terkait dengan etika dan kepatutan.

Kekuasaan ibarat terangnya lampu yang menyedot kemunculan laron-laron untuk merubungnya. Namun tetaplah kita berharap berlangsungnya proses-proses yang bermartabat, tidak mencederai kepatutan, serta tidak mengesankan sikap yang membabi buta untuk meraihnya. Suka atau tidak suka, kelokan langkah Andi Nurpati bukan pembelajaran politik yang baik bagi generasi muda. Langkah Ulil Abshar Abdalla jelas lebih elegan, dan dari berbagai sisi, keistikamahan Usman Hamid sangat patut untuk mendapatkan apresiasi.