Rekrutmen Politik Partai Demokrat

Oleh Ismatillah A. Nu’ad*

Dalam sepekan kemarin, Partai Demokrat meminang beberapa aktivis dan intelektual muda, seperti Usman Hamid (Kontras), Rachlan Nasidik (Imparsial), Andi Nurpati (KPU), Ferry Julianto (Dewan Tani Indonesia), dan mantan aktivis ’98 Sarbini. Mereka dipinang untuk mengisi struktur baru Partai Demokrat di bawah kendali Anas Urbaningrum.

Di antara sekian nama, ada yang menerima, ada juga yang menolak pinangan itu. Usman termasuk yang menolak. Sebab, dia menginginkan demarkasi yang tegas antara diri dan aktivismenya dengan partai status quo.

Jika mau melihat secara kritis, justru di situlah sesungguhnya peran aktivis dan intelektual diuji. Semestinya, mereka lebih mendahulukan idealisme ketimbang pragmatisme. Bagaimanapun, kapabilitas moral mereka akhirnya runtuh jika mau bergabung bersama partai status quo.

Dalam tulisan di harian Indonesia Raya, Mochtar Lubis menyatakan bahwa moralitas dan peran intelektual merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak bisa dipertentangkan (Pabottingi, 1992:34). Andai masih hidup, mungkin dia skeptis melihat fenomena para aktivis dan intelektual yang kemudian melibatkan diri secara pragmatis dalam partai status quo.

Padahal, di tengah hiruk pikuk kehidupan sosial dan politik saat ini, peran aktivis dan kaum intelektual sangat dibutuhkan. Kontribusi mereka begitu besar bagi tumbuhnya perubahan. Sebab, revolusi sosial yang diteriakkan dan diaktualisasi massa, misalnya gerakan ’98, semula digagas dan ditentukan oleh peran kaum intelektual muda. Memang Harry J. Benda dalam karyanya, Continuity and Change in Southeast Asia (1972), membedakan posisi intelektual di dalam masyarakat yang sudah maju dan yang masih berkembang.

Menurut dia, dalam masyarakat Barat, aktivis dan kaum intelektual tidak membentuk kelas sosial tersendiri. Mereka sebatas hidup sebagai pelengkap di antara kelas-kelas lain. Sedangkan di masyarakat berkembang, aktivis dan kaum intelektual memperoleh kedudukan dan pengaruh. Mereka membentuk kelas sosial tersendiri dan memegang "kekuasaan politik" yang sesungguhnya. Menjadi intelektual dalam masyarakat berkembang berarti melakukan suatu pekerjaan mulia, memenuhi panggilan hidup dengan nilai, aturan, disiplin, serta kode etik tersendiri.

Meskipun tesis itu dikemukakan oleh Harry dalam konteks munculnya kaum intelektual di Asia Tenggara pada masa kolonial, untuk membedakan peran kaum intelektual di masyarakat maju dan berkembang, diperlukan semacam tinjauan ulang. Sebab, pada intinya peran kaum intelektual tersebut hampir tidak berbeda, baik di masyarakat maju atau berkembang. Kaum intelektual tetap menjadi agen perubahan (agent of change). Justru kemajuan dan budaya tinggi (high culture) masyarakat Barat kini semula disemangati dan digagas kaum intelektual, yang bangunannya bisa dirujuk mulai zaman Yunani kuno, masa pertengahan, hingga masa pencerahan.

***

Pada masa perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia, begitu banyak kaum intelektual. Namun, hanya sedikit yang mengabdikan diri untuk perjuangan. Umumnya, kaum intelektual masa kolonial mengabdi kepada kekuasaan atau menjadi pejabat, gubernur, bupati, hingga kepala media massa untuk kepentingan kolonial.

Kelompok itu menjadi priayi-priayi baru dan mengisi kelas-kelas sosial menengah baru. Soal tujuan mengabdikan diri untuk perjuangan kemerdekaan, mereka cenderung menutup mata. Di situ, proses langgengnya kolonialisme juga ditentukan secara intensif oleh kaum intelektual yang sudah berkorporasi dengan kekuasaan kolonial.

Untung, di Indonesia ketika itu masih ada orang seperti Bung Hatta, Sjahrir, dan sekelas mereka, yang tidak menutup mata atas penderitaan dan belenggu yang dialami bangsa Indonesia. Kaum seperti Sjahrir dan Hatta merupakan intelektual milik publik. Dedikasi pengetahuan, kapabilitas, dan perjuangan mereka ditujukan pada terciptanya kemerdekaan Indonesia.

Kelompok kedua itu lebih memilih menjadi intelektual "bermasalah" daripada hidup damai, tenang, dan cukup, tapi di atas penderitaan orang lain. Kaum intelektual seperti Sjahrir dan Hatta lebih senang hidup di penjara, dibuang, dan diasingkan karena perjuangan mereka yang tidak disukai kolonial.

Spirit kaum intelektual yang pro kepentingan nasional itu semestinya memberikan inspirasi bagi generasi kaum intelektual sekarang. Sebab, bukan hanya tanda-tanda, melainkan sudah menjadi kenyataan konkret sekarang banyak kaum intelektual di Indonesia yang justru mengkhianati kode etiknya. Yang mereka lakukan kontraproduktif dengan kenyataan faktual masyarakat Indonesia, yang masih dibelenggu kemiskinan, kebodohan, dan penderitaan.

Begitu banyak kaum intelektual yang kini hanya memikirkan ekonomi individu, kepentingan politik kelompok, dan sebagainya.

Pada masa kini, Indonesia membutuhkan aktivis dan kaum intelektual seperti Hatta, Sjahrir, Bung Karno, Tan Malaka, H.O.S. Cokroaminoto, dan sekelasnya. Yakni, intelektual yang tak hanya mementingkan diri sendiri, yang tidak mengebiri masyarakat sendiri. Bangsa ini membutuhkan visioner sekaligus intelektual yang revolusioner. Intelektual yang tidak memecah belah masyarakat seperti keping-keping reruntuhan, melainkan mengintegrasikan masyarakat dalam kesatuan. Intelektual yang mau bersama-sama membangun Indonesia dari keterpurukan. (*)

*) Ismatillah A. Nu’ad, peminat historiografi Indonesia modern