Tolak Pelanggar HAM menjadi Pejabat Negara

Tolak Pelanggar HAM menjadi Pejabat Negara

Pengangkatan Letnan Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin sebagai wakil Menteri pertahanan dan wacana tentang hak pilih TNI adalah tindakan politik dan gagasan yang jauh dari rasa keadilan, akal sehat dan semangat reformasi. Alih-alih mendorong proses pertanggungjawaban hukum Presiden justru memberikan jabatan strategis bagi pelanggar HAM menjadi pejabat negara. Setali dengan itu, alih-alih melakukan mendorong akuntabilitas dan profesionalisme TNI pemerintah justru menggulirkan wacana hak pilih TNI

Pengangkatan tersebut selain mencederai rasa keadilan bagi korban juga telah merusak semangat supremasi hukum dan HAM serta Reformasi TNI. Sebab Sjafrie Sjamsoeddin adalah salah seorang petinggi militer yang wajib dimintai pertanggungjawaban komando atas sejumlah peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi pada medio Mei 1998, menjelang kejatuhan dan paska kejatuhan Soeharto. Sjafrie adalah Panglima Komando Daerah Militer V Jaya (PANGDAM V) sekaligus Panglima Komando Operasi (PANGKOOPS) Mantap Jaya III yang bertanggungjawab atas keamanan di wilayah DKI Jakarta (Ibu Kota) pada saat peristiwa Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998, Penembakan mahasiswa Trisakti 1998 dan Peristiwa Mei 1998 terjadi. Dan laporan Komnas HAM serta Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998 telah merekomendasikan untuk meminta pertanggungjawaba komando terhadapn Sjafrie, dan rekomendasi ini telah diperkuat dengan rekomendasi PANSUS orang Hilang DPR RI.

Pemberian jabatan strategis bagi pelanggar HAM dan  wacana pemberian hak pilih TNI pada Pemilu 2014 merupakan tindakan yang merusak proses transisi demokrasi di Indonesia. Keduanya dapat mengganggu akuntabilitas penegakan HAM dan proses reformasi TNI. Mengingat institusi TNI merupakan pelaku kekerasan pada masa otoritarian dan sampai dengan saat ini reformasi di tubuh TNI belum menyentuh akuntabilitas pelanggaran HAM di masa lalu. lebih jauh hak pilih TNI potensial menjadi ruang untuk kembali mempolitisir institusi TNI yang masih dalam proses reformasi. Pemilu 2009 dengan jelas memperlihatkan para mantan petinggi militer yang semestinya bertanggungjawab atas pelanggaran HAM yang terjadi justru berkompetisi memperebutkan jabatan strategis  negara (Presiden-wakil Presiden)

Ditengah absennya pertanggungjawaban pelanggaran HAM masa lalu, Pemerintah seharusnya menggunakan upaya pembatasan bagi para pelanggar HAM untuk menduduki jabatan strategis. Upaya ini telah lazim digunakan sejumlah negara yang mengalami transisi dari rejim otoritarian seperti Indonesia, upaya ini dikenal dengan mekanisme “vetting” yakni dengan menyaring (screening) dan mencegah masuknya (barring) para pelaku kejahatan serius HAM, memindahkan posisi (removal) bagi para pejabat publik yang diketahui punya rekam jejak HAM buruk, dan memurnikan (purging) institusi-institusi negara yang dianggap strategis (dan yang potensial membahayakan HAM), seperti: pengambil kebijakan politik di lembaga eksekutif, parlemen, yudikatif, aktor-aktor sektor keamanan dan pertahanan (polisi, militer, dan intelijen), dan sebagainya. Vetting juga penting dilakukan untuk menjamin kepercayaan publik atas mandat yang diberikannya. Sayangnya di Indonesia hal ini masih diabaikan. Mereka yang dianggap bertanggung jawab atas kejahatan HAM masa lalu masih begitu leluasanya mengisi posisi-posisi publik yang strategis.

Untuk itu, kami menolak pemberian jabatan negara kepada para pelanggar HAM, termasuk jabatan Sjafrie Sjasoeddin sebagai Wakil Menteri Pertahanan. dan kami mengingatkan agar pemerintah  memprioritaskan pertanggungjawaban penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan menggunakan mekanisme “Vetting” dalam setiap kebijakan yang berkenaan jabatan dan institusi negara.

Jakarta, 24 Juni 2010

Gerakan Mahasiswa Menolak Amnesia Sejarah (GEMAS) – Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) – Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) – Komite Solidaritas Aksi untuk Munir (KASUM)    – Komunitas Sahabat Munir Tangerang (KMST) – Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia Jakarta (PBHI) – Setara Institut