“Menyikapi Perluasan Koter dan Pergantian Panglima TNI”

“Menyikapi Perluasan Koter dan Pergantian Panglima TNI”

Perluasan dan penambahan struktur Komando teritorial kembali lagi terjadi. Kepala Staf TNI AD Jenderal George Toisutta meresmikan terbentuknya Kodam VI/Mulawarman di Kalimantan Timur pada tanggal 28 Juni 2010. Jauh sebelum itu, Mabes TNI AD memang sudah berencana menambah 22 markas komando teritorial yang terdiri dari 3 (tiga) Makorem dan 19 (sembilan belas) Makodim.

Kami menilai pola pengembangan struktur teritorial yang diagendakan TNI AD adalah pola lama yang perluasannya mengikuti tata struktur pemerintahan daerah. Pola seperti ini jelas bertentangan dengan semangat UU TNI No. 34 Tahun 2004 yang menegaskan adanya restrukturisasi komando teritorial, khususnya pasal 11 UU TNI yang di dalam penjelasannya mensyaratkan bahwa penggelaran kekuatan TNI tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan.

Penting untuk diingat kembali bahwa agenda restrukturisasi komando teritorial merupakan salah satu agenda penting dalam reformasi politik dan reformasi TNI. Namun demikian, sejak reformasi bergulir nampak tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk menjalankan mandat reformasi ini, kecuali di masa pemerintahan Abdurahman Wahid. Alih-alih pemerintah melakukan restrukturisasi, yang terjadi justru tetap mempertahankan dan malah memperkuat struktur komando teritorial.

Jika dilihat dari segi kepentingan pertahanan, stuktur Koter sesungguhnya tidak lagi memiliki relevansi dan signifikansi dengan konteks ancaman yang dihadapi dan konteks geografi Indonesia sebagai negara kepulauan. Di sini, struktur Koter sebagai bagian dari postur pertahanan dan gelar kekuatan harus diganti dengan model yang kontekstual dan mampu merespon situasi perkembangan ancaman yang bersifat dinamis dan mampu beradaptasi dengan kondisi geografis sebagai negara kepulauan.

Pengembangan postur pertahanan yang dilakukan secara parsial serta bersifat statis akan mengakibatkan tidak terukurnya strategi pertahanan yang akan diterapkan. Alhasil, pengembangan postur tersebut tidak mampu untuk mengahadapi ancaman yang muncul dan akhirnya berakibat pada borosnya penggunaan anggaran. Pembentukan dan Pengembangan postur pertahanan seharusnya dilakukan secara menyeluruh dan integral dengan kesatuan lainnya.

Kami menolak pengembangan Koter di beberapa daerah, antara lain yang direncanakan akan didirikan di Papua/Papua Barat, dan menuntut kepada pemerintah dan parlemen untuk segera melakukan evaluasi dan pengkajian ulang terhadap keberadaan Koter dan mengganti dengan konsep lainnya yang lebih efektif.

Dengan demikian terkait dengan rencana pergantian Panglima TNI, Kami menegaskan menolak calon Panglima yang mendukung perluasan struktur komando teritorial. Tidak hanya itu, kami juga menolak calon Panglima yang tidak akomodatif terhadap penyelesaian agenda-agenda reformasi TNI lainnya, yaitu: reformasi peradilan militer; pengambilalihan bisnis-bisnis militer; penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM; perubahan kedudukan TNI dari dibawah Presiden menjadi dibawah Departemen Pertahanan; dan khususnya peningkatan kesejahteraan prajurit TNI dll. Meski demikian, kami mengakui dan menghormati bahwa kewenangan pergantian Panglima TNI sepenuhnya adalah kewenangan otoritas politik.

Kami mendesak otoritas politik untuk melakukan security and human rights audit terhadap calon Panglima TNI. Security audit menuntut kepada otoritas politik untuk melakukan audit terhadap kinerja calon Panglima yang selama ini telah dan sedang menjalani tugas dan fungsinya sebagai prajurit TNI. Hal ini ditujukan sebagai bahan penilaian untuk melihat seberapa besar kompetensi, profesionalitas dan track record calon Panglima TNI. Sedangkan human rights audit menuntut kepada otoritas politik untuk melakukan audit HAM terhadap calon Panglima TNI. Hal ini dilakukan dengan menjadikan kasus pelanggaran HAM dan cara pandang calon tentang HAM sebagai tolak ukur untuk mengaudit dan memberi penilaian. Audit HAM tersebut ditujukan untuk memastikan bahwa calon Panglima TNI tidak pernah terlibat dalam kasus pelanggaran HAM dan tidak memiliki pretensi untuk mengabaikan nilai-nilai HAM ketika menjabat posisi panglima TNI.

Lebih dari itu, sebagai negara hukum, proses pergantian Panglima TNI sudah seharusnya berlandaskan kepada undang-undang. Mengacu kepada UU TNI yang merupakan payung hukum bagi TNI, proses pergantian Panglima TNI mensyaratkan dan menyiratkan bahwa pergantian Panglima dilakukan secara bergiliran (pasal 13 ayat 4). Dalam konteks itu, adalah kewajiban dan keharusan bagi otoritas politik untuk melaksanakan mandat UU TNI dengan cara memberikan kesempatan kepada calon dari angkatan lainnya untuk menduduki jabatan Panglima TNI.

Prinsip bergiliran sebagaimana dianut dalam undang-undang TNI sesungguhnya mengandung makna bahwa otoritas politik perlu bersikap adil tekait dengan pergantian posisi panglima TNI. Prinsip tersebut tidak menginginkan adanya dominsi dan monopoli salah satu angkatan dalam pergantian Panglima TNI, sebagaiman yang terjadi pada masa rezim otoritarian Soeharto. Ketidakmauan otoritas politik untuk menjadikan prinsip bergiliran dalam pergantian panglima TNI bukan hanya tidak sejalan dengan UU TNI, tetapi juga cermin dari diteruskannya budaya dominasi dan monopoli yang merupakan sisa warisan masa lalu.

Jakarta, 30 Juni 2010

Imparsial (Al araf dan Poengky Indarti)
Kontras (Indria Fernida dan Harris Azhar)
IDSPS (Mufti Makarim)
Lesperssi (Benny Sukadis)
INFID (Nawawi Bahrudin)
PBHI (Dedi Ahmad)
HRWG (Rafendi Djamin dan Choirul Anam)
KASUM (Andi Panca Kurniawan)
Praxis (Andi K. Yuwono)
ICW (Emerson Juntho)
Propatria Institute (Hari Prihatono)