MENGAKHIRI REKAYASA KASUS

Dalam dua bulan terakhir, tiga kasus rekayasa diputus bebas pengadilan, yaitu kasus Susandhi alias Aan (17 Mei), Chairul Saleh Nasution (4 Mei), dan Usep Cahyono (8 April). Ketiganya didakwa atas kepemilikan dan atau penggunaan narkoba. Majelis Hakim menilai dakwaan yang disusun dari proses penyidikan terdapat sejumlah kecacatan.

Putusan ini merupakan preseden positif bagi penegakan hukum berperspektif keadilan korban. Akankah rekayasa kasus berakhir?

Sepertinya rekayasa kasus akan terus terjadi bila prinsip-prinsip manajemen penyidikan kepolisian diabaikan. Pertama, karena sikap gampangan (easy going) dalam penyidikan yang asal jadi dan mudah ditangani tanpa mempedulikan bobot penyidikan. Kedua, penyidik mengejar pencapaian kerja secara kuantitas, mengabaikan kualitas. Misalnya, keberhasilan penyidik hanya diukur dari jumlah tangkapan, target operasi dan batas waktu yang diberikan atasan.

Selain itu, penyimpangan penyidikan terjadi karena motif menjadikan target operasi sebagai objek pemerasan. Bahkan tak jarang penyidikan didasarkan ‘pesanan’ pihak berkepentingan, tentu dengan imbalan materi atau janji-janji lainnya.

Contoh penyidikan yang diduga berdasarkan ‘pesanan’ pihak berkepentingan terlihat pada kasus Aan. Beberapa petugas Ditnarkoba dan Ditreskrium Polda Maluku tiba-tiba memulai kegiatan penyelidikan dan penyidikan di gedung Artha Graha Jakarta, tepatnya di kantor pelapor. Semua berlangsung dengan mengabaikan prosedur dan tanpa berkoordinasi dengan Mabes Polri maupun Polda Metro Jaya.

Mengemukanya pemberitaan rekayasa kasus, termasuk kasus Gayus, memicu keprihatinan nasional. Satgas Anti Mafia Hukum, Komisi III DPR, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) seolah berlomba mengambil peran. Kapolri juga angkat bicara dan mengatakan akan memasukkan polisi perekayasa dalam ‘tong sampah paling dalam.’ Hingga kini, masyarakat masih menunggu tindakan nyata mengakhiri rekayasa kasus.

Bila menelaah lebih dalam kasus-kasus ini, ketiganya diperiksa penyidik tanpa didampingi kuasa hukum, mengalami penganiayaan ketika berada di tangan penyidik atau sebelumnya telah dianiaya dengan sepengetahuan penyidik, hingga adanya berkas penyidikan yang direkayasa.

Mengapa rekayasa kasus sering menggunakan modus narkorba? Pertama-tama, menjerat seseorang menjadi tersangka narkoba bukan hal sulit. Pembuktiaannya juga mudah. Siapa saja yang pada tubuh atau barang yang dikuasainya ditemukan narkoba maka langsung bisa ditetapkan sebagai tersangka. Terlepas apakah barang bukti itu ‘diselundupkan,’ ini yang sering jadi masalah. Biasanya, itu terjadi demi tujuan menjebak tersangka. Bahkan, tuduhan hukum terus berjalan sekalipun tes urin terhadap tersangka hasilnya negatif.

Pada tahun 2008, Kepala Divisi Humas Mabes Polri mengakui modus penjebakan ini, yakni pada saat ada penggerebekan oleh polisi, biasanya barang jenis narkoba itu sudah ada di dalam mobil, di kamar atau dimasukkan ke dalam tas calon sasaran pemerasan.

Pengakuan Tersangka

Faktor lain yang kerap memicu rekayasa adalah pengakuan tersangka. Yaitu ketika penyidik hanya mementingkan pengakuan tersangka sebagai alat bukti utama. Padahal KUHAP amat berpegang pada prinsip asas praduga tak bersalah. Itulah mengapa pengakuan atau keterangan tersangka ditempatkan sebagai alat bukti yang terendah (kelima). Dengan kata lain, konsep ini juga dimaksudkan untuk tidak membebani kewajiban pembuktian pada tersangka.

Orientasi seperti ini pula yang membuka peluang penggunaan kekerasan, penyiksaan dalam mengorek keterangan. Metode-metode pemeriksaan ini mengikuti kemauan penyidik sebagai akibat dari sikap gampangan dan asal jadi dalam menyusun berkas perkara.

Rendahnya pemahaman HAM juga berakibat penyidik mengabaikan persamaan hak di muka hukum bagi seorang tersangka. Alih-alih dipenuhi, hak-hak tersangka pun tak dijelaskan, dari mulai hak untuk mengetahui tuduhan yang disangkakan padanya, hak mendapat bantuan hukum, diperiksa dalam waktu-waktu dan tempat semestinya dengan mempertimbangkan kebutuhan beristirahat seorang terperiksa/saksi/tersangka. Ini semua untuk mencegah kesewenang-wenangan. Semata-mata agar keadilan itu bukan saja diukur pada hasil akhir, melainkan telah ditampakkan sepanjang prosesnya.

Kultur demikian telah melahirkan resistensi terhadap keberadaan pengacara. Pengacara bagi penyidik hanya menyulitkan penyidikan sehingga berlangsung lama dan bertele-tele. Penyidik menganggap saksi/terperiksa/tersangka ‘koperatif’ bila tidak melibatkan pengacara.

KUHAP mewajibkan pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan menunjuk penasehat hukum bagi tersangka atau terdakwa. Prakteknya? Jauh panggang dari api. Ketika penyidikan berlangsung, penyidik ‘mengakali’ kewajiban ini dengan membuat Pernyataan dan Berita Acara kesediaan terperiksa tanpa didampingi pengacara yang ditandatangani. Inilah satu praktek abnormal dimana kewajiban UU dimentahkan.

Raisson d’etre dari ketentuan bantuan hukum bagi tersangka adalah agar orang yang diancam pidana dapat terhindar dari upaya-upaya yang merugikan hak hukumnya. Banyak orang tidak paham hukum, apalagi detil hukum pidana.

Mekanisme dan Aturan

Ke depan, kita perlu mendorong pembenahan aturan dan mekanisme yang menjabarkan prinsip negara hukum.

Sebagai negara hukum, kita telah menginternalisasi perjanjian HAM internasional ke dalam sistem perundang-undangan nasional. Kita tidak mengalami defisit regulasi yang menekankan agar proses penyidikan berlangsung bukan hanya sesuai prosedur tapi juga menghormati HAM. Sebut saja prinsip peradilan yang fair, ini telah tertuang di KUHAP sampai peraturan Kapolri No. 8/2009 tentang Implementasi HAM Dalam Tugas Polri.

Kita telah mengadopsi prinsip-prinsip HAM dalam penyidikan, asas praduga tak bersalah, pelarangan penyiksaan serta perlakuan lain yang kejam, tak manusiawi dan merendahkan martabat, hak untuk tidak dipaksa mengaku bersalah, hak tidak diperlakukan sewenang-wenang, dan hak tidak mendapat perlakuan diskriminatif.

Kita juga telah memiliki mekanisme pengawasan dan pendisiplinan bila terjadi pelanggaran anggota Polri. Di tubuh kepolisian, ada Propam yang bertugas menegakkan disiplin atas pelanggaran etika/disiplin anggota. Di level eksekutif, meski kontroversial, ada Kompolnas yang diketuai Menteri Politik, Hukum dan Keamanan, bahkan hingga badan non-permanen seperti Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Di parlemen, terdapat Komisi III yang aktif mengawasi kinerja kepolisian. Bahkan saat ini terdapat Panja Penegakan Hukum di DPR. Dalam ranah yudikatif, mekanisme pra-peradilan dan sidang pengadilan itu sendiri dapat digunakan untuk mengontrol kredibilitas penyidikan.

Namun mengapa rekayasa kasus terus berulang? Masalah kita memang pelik, rekayasa yang kita bahas ini telah berlangsung dari hulu ke hilir sistem peradilan.

Rekayasa kasus akan terus terjadi disebabkan problem internal penyidikan maupun eksternal terkait dengan kepentingan. Namun, soalnya lebih banyak pada hal-hal di luar hukum. Korupsi dan rendahnya pemahaman hak asasi di aparat penegak hukum menjadi soal besar. Misalnya, aroma suap tercium pada kasus Gayus dan Aan. Dan pengabaian HAM termasuk di dalamnya cacatnya prosedur pada kasus Chairul Saleh, Usep Cahyono dan Aan.

Agenda Akuntabilitas

Sekarang kita membutuhkan langkah-langkah kongkrit dari pelaksana tugas di atas untuk mengakhiri atau setidaknya mengurangi penyimpangan yang terjadi pada proses penyidikan.

Langkah yang diperlukan antara lain, pertama, memaksimalkan Pengawas Penyidikan di lingkungan Polri yang ada sejak Januari 2008. Pengawas ini harus melakukan verifikasi atas keabsahan tindakan-tindakan yang dilakukan penyidik, untuk memastikan integritas serta kinerja kepolisian.

Kedua, Propam harus tanggap merespon keluhan atau pengaduan masyarakat atas penyimpangan yang terjadi dari anggota Polri. Pendisiplinan anggota yang tidak profesional dan melawan hukum harus menjadi bagian pembentukan integritas kepolisian. Sehingga menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap profesionalitas Polri.

Ketiga, Pemerintah dan DPR harus menjamin kesediaan anggaran. Kemandirian operasional yang dijamin negara, harus dapat dinikmati Polri guna mencegah dominasi bantuan pihak swasta yang dapat mempengaruhi kemandirian Polri. Bila dibuka ruang Polri untuk menerima bantuan di luar APBN baik dari Pemda ataupun swasta, maka harus ada mekanisme akuntabel dan transparansi pengelolaannya. Termasuk penting mempertimbangkan pemberian kewenangan lebih pada Kompolnas untuk meningkatkan efektifitas pengawasannya memonitor tindakan dan kebijakan Polri.

Keempat, parlemen dapat berkontribusi dengan melakukan revisi KUHAP maupun perundang-undangan terkait untuk mengelimir penyimpangan dalam tugas kepolisian. Menetapkan tujuan-tujuan, memonitor dan menilai kinerja Polri. Mendukung peningkatan sumber daya kepolisian, dengan catatan tidak melakukan intervensi penyidikan.

Harus disadari, perbaikan citra kepolisian juga sangat dipengaruhi penegakan hukum yang tidak diskriminatif bagi anggota polisi. Polri tidak cukup hanya menegakkan pendisiplinan internal (sidang kode etik) namun harus berani untuk mengajukan anggotanya yang bersalah pada proses pidana. Dengan demikian hukum berlaku sama baik pada warga biasa maupun anggota Polri.

Terakhir, lembaga peradilan mempunyai peran penting perbaikan kinerja penyidikan. Kita perlu hakim-hakim yang obyektif dan adil, tidak membiarkan perilaku polisi yang salah. Putusan-putusan hakim seperti pada tiga kasus di atas dapat menstimulus kepolisian untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerjanya.

Kita berharap Polri dapat menegaskan bahwa rekayasa kasus yang terjadi bukan cermin institusi, namun hanya satu-dua apel busuk dalam kebun yang rindang.

* Penulis adalah Badan Pekerja KontraS, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

ISSN: 2086-2024