Pemerintah Mendua Soal Pembekuan Aturan Satpol PP

TEMPO Interaktif, Jakarta – Pemerintah disebut mendua dalam membekukan Aturan Menteri Dalam Negeri  soal pemakaian senjata api bagi Satpol PP.  " Pembekuan itu menunjukkan aturan ini lahir tanpa  ada koordinasi, tanpa masukan ahli dari masyarakat dan tanpa kajian," kata Alghiffari Aqsa, Pengacara  Publik YLBHI dalam jumpa pers di Lembaga  Bantuan Hukum Jakarta, Kamis (8/7)

Penggunaan senjata api, menurut Alghiffari, mengacu pada prinsip dasar PBB tentang pemakaian kekerasan dan senjata api oleh aparatur penegak hukum. Prinsip  PBB itu antara lain mengatur tentang, siapa, situasi, kondisi dan penyimpanan senjata api, ternyata belum termaktub dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri no.26 Tahun 2010.

Buktinya terlihat dalam pasal 3, Alghiffari memaparkan meski senjata api hanya diizinkan untuk kepala regu, tapi ternyata di ayat duanya ada kata "dapat", sehingga senjata api bisa digunakan siapa saja. Peraturan ini,diakuinya, meski cukup "lembut" ketimbang peraturan sebelumnya (Permendagri no.35 Tahun 2005), tapi tetap saja melegalkan senjata api.

Menurut Alghiffari, pembekuan peraturan juga tidak akan menyelesaikan masalah, karena peraturan tersebut seharusnya dicabut. "Begitu pula keberadaan satpol PP,harus dihapuskan," Alghiffari menegaskan.

Alasannya, selama ini kata Abusaid Pelu, Staf Khusus Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Kontras, tidak ada kejelasan proses rekrutmen, pendidikan dan pengawasan, satpol PP. "Coba tanya polisi, apakah ada pembekalan untuk sistem pendidikan satpol PP, apakah ada pelajaran psikologi massa," Ia mempertanyakan.

Padahal massa yang dihadapi pasukan di bawah Kementerian Dalam Negeri ini adalah mayoritas masyarakat miskin. "Masyarakat yang terpaksa melanggar Peraturan Daerah demi mempertahankan hidupnya, ini yang disebut liar dan menganggu," ujar Abusaid.

DIANING SARI