Jaksa Agung dan Keadilan Korban

KOMPAS.com — Memperingati HUT ke-60 Adhyaksa, Jaksa Agung berpidato seputar budaya birokrasi, kejujuran dan disiplin, profesionalisme, meminta semua tulus bekerja, berorientasi hasil, dan bermanfaat bagi masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan terbangun apabila kinerja Kejaksaan menunjukkan perbaikan.

Sayangnya, tak terdengar bagaimana kinerja Kejaksaan dalam penegakan hak asasi manusia (HAM). Apakah berarti penegakan HAM bukan prioritas?

Dalam Rapat Koordinasi dan Konsultasi Penegak Hukum pada 4 Mei lalu, Presiden Yudhoyono mengemukakan arahan "bagaimana kita memberikan keadilan bagi korban kasus hukum dan HAM masa lalu".

Isu ini adalah satu dari tujuh arahan Presiden guna mengatasi isu utama bidang hukum dan keadilan. Rapat dihadiri Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, sampai Ketua Mahkamah Agung.

Enam arahan lainnya adalah mengintensifkan pemberantasan korupsi, meneruskan pemberantasan mafia hukum, mencegah hukuman yang terlalu berat atau terlalu ringan, mencegah campur tangan politik dalam hukum, memasyarakatkan dan reintegrasi sosial narapidana yang telah menjalani hukuman, dan memperkuat pencegahan terhadap berbagai tindak kejahatan (Kompas, 5/5/2010).

Tak terdengar

Secara relatif, keenam agenda tersebut kerap diperbincangkan dalam rapat kabinet serta muncul ke permukaan. Sementara keadilan bagi korban kasus hukum dan HAM pada masa lalu nyaris tak terdengar.

Tentu yang dimaksud Presiden adalah korban-korban pelanggaran HAM, yang di antaranya berdiri selama satu jam setiap Kamis sore di depan Istana Negara. Mereka mewakili keluarga korban penculikan aktivis, penembakan mahasiswa, dan tahanan politik yang dipenjara bertahun-tahun tanpa peradilan.

Presiden berharap "selesai rapat koordinasi dan konsultasi tersebut, ada semacam kebijakan negara yang tepat dan adil", yang melibatkan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, termasuk mendengarkan masukan organisasi nonpemerintah.

Di tengah mandeknya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, arahan Presiden memiliki arti tersendiri. Spirit Reformasi 1998 mengamanatkan ikhtiar pengusutan pelanggaran HAM masa lalu melalui penegakan supremasi hukum. Kita menyayangkan, ikhtiar itu belum tertunaikan.

Penegakan supremasi hukum penjurunya ada di tangan korps Kejaksaan Agung. Jaksa Agunglah yang diamanatkan Undang-Undang Pengadilan HAM sebagai penyidik sekaligus penuntut suatu peristiwa pada masa lalu yang menurut sifat dan lingkupnya patut diduga sebagai pelanggaran HAM berat. Pembuat UU saat itu memutuskan tak perlu membentuk badan baru seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dengan kewenangan menyidik dan menuntut.

Itu mungkin karena jabatan Jaksa Agung pada dasarnya bersifat jabatan politik. Pengangkatan Marzuki Darusman, Baharudin Lopa, atau Abdul Rahman Saleh sebagai Jaksa Agung ialah contoh. Mengusut pelanggaran HAM sebagai sebagai warisan kekuasaan masa lalu selalu terletak pada pundak kekuasaan yang menggantikannya dan itu berarti pula ada di pundak seorang presiden. Di titik inilah arti penting arahan Presiden.

Arti lainnya adalah perlu keselarasan badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dalam mengemban tanggung jawab negara sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28I Ayat 4. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Kehendak baik

Rapat dimaksud memang menuai protes. Akan tetapi, sulit dimungkiri, perwujudan supremasi hukum era transisi demokrasi perlu koordinasi badan-badan penegakan hukum. Syaratnya, ada kehendak baik dan pembelaan nilai-nilai kebenaran, bukan justru mengesampingkan keadilan.

Contoh perlunya koordinasi badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah penghilangan paksa pada tahun 1997/1998. Usulan DPR RI kepada Presiden RI Nomor PW.01/6204/DPR-RI/ IX/2009 tanggal 30 September 2009), sesuai dengan Pasal 43 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memberikan amanat hukum bagi Presiden untuk menerbitkan keputusan presiden tentang pengadilan HAM ad hoc.

Amanat UU ini jelas. Setelah legislatif menyampaikan usulan, eksekutif menyiapkan keputusan, lalu selanjutnya dilanjutkan yudikatif. Presiden tak perlu khawatir keputusan itu dinilai politis. Itulah kewajiban legal seorang presiden. Kunci obyektifitas peradilan adalah Jaksa Agung. Teladanilah Jaksa Agung R Soeprapto yang menegakkan supremasi hukum meski harus berkonflik dengan pelaku politik.

Lagi pula arahan Presiden adalah amanat konstitusional. UUD 1945 Amandemen Keempat Pasal 1 Ayat (3) menyatakan "Negara Indonesia adalah negara hukum". Ini menegaskan cita-cita bangsa Indonesia, yakni "untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis" (Pasal 28I Ayat 5).

Legislatif juga meminta pemerintah mencari kejelasan nasib serta keberadaan aktivis-aktivis yang hilang. Ini perlu peran yudikatif. UU Administrasi Kependudukan Pasal 44 Ayat (4) menyatakan, "Dalam hal terjadi ketidakjelasan keberadaan seseorang karena hilang atau mati, tetapi tidak ditemukan jenazahnya, pencatatan oleh Pejabat Pencatatan Sipil baru dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.”

Selanjutnya peran eksekutif perlu untuk membantu korban memperoleh kejelasan. Konvensi Anti-Penghilangan Paksa mensyaratkan pengakuan legal bahwa "kejahatan penghilangan paksa" masih berlangsung.

Sebagai kepala badan eksekutif, sekaligus kepala negara yang mencakup legislatif dan yudikatif, Presiden hanya perlu memastikan empat jaminan. Jaminan pertama adalah praduga tak bersalah yang selalu dipegang teguh dalam setiap traktat HAM. Kedua, proses hukum yang serius harus terbuka. Publisitas, kata Jeremy Bentham, adalah ’jiwa yang sangat dalam dari keadilan’. Publisitas menjaga penegak hukum tetap tunduk pada norma-norma yang adil dan benar.

Ketiga, ketidakberpihakan para hakim. Presiden perlu meyakini bahwa hakim merupakan individu yang memiliki kehormatan diri sekaligus tulang punggung untuk menghadapi praktik-praktik mafia hukum, baik melalui kekuatan finansial maupun tekanan, intimidasi, teror, dan tindakan lain yang tak bertanggung jawab.

Terakhir, penghormatan hak siapa pun yang dituduh melakukan kesalahan untuk tidak dipaksa memberi kesaksian terhadap dirinya sendiri atau dipaksa mengaku bersalah.

*Usman Hamid Aktivis Kontras