Matinya Nalar Kekuasaan

Ecep Heryadi – suaraPembaca

Jakarta – Edouard Douwes Dekker (1820-1887), yang memakai nama samaran Multatuli (artinya; Aku banyak menderita), 150 tahun silam pernah menemui Gouverneur General Belanda untuk melakukan protes terhadap kebijakan yang nir kepentingan masyarakat pribumi. Meski Wong Londo, nurani Multatuli lebih tajam daripada para mandor, demang, dan bupati yang dijabat orang pribumi, yang tega memeras keringat bangsanya sendiri dengan tanpa ras-rasan.

Ia berontak melihat ketidakadilan, kecurangan, dan penyiksaan terhadap kuli pribumi yang hanya diperas tenaganya saja, tanpa diberikan upah yang wajar. Kehidupan mereka sangat melarat di tengah melimpahnya kekayaan alam Nusantara. Ia diperkosa hak-hak dan ironisnya dilakukan di negerinya sendiri.

Umumnya, dan ironis karena masih berlaku hingga saat ini, para pejabat yang ditemui Multatuli selalu merespon pengaduannya dengan berucap "kami akan memperhatikan soal ini". Ucapan yang penuh dengan simbolisme dan kenaifan kata-kata yang metafor.

Menyejukkan namun nir dengan substansi yang mencerahkan. 350 tahun Indonesia dijajah Belanda sehingga mematikan nalar kekuasaan yang seyogyanya menjadi jembatan guna menciptakan nilai-nilai subsrat manusia sebagai citizen of nation, menjadi dinafikan. Warga miskin, kaum telantar, para tuna (tunawisma, tunanetra, tunarungu, dan seterusnya?) cukup menjadi obyek politik yang ramai diperbincangkan menjelang gelaran pilpres atau pemilukada. Kesejahteraan, keadilan, dan persamaan yang sebenarnya menjadi nilai dasar kebutuhan setiap warga negara. Tak ubahnya ruang saluran politis yang berdaya guna dan berpotensi meski harus mengorbankan hasrat masyarakat sebagai termaktub di atas.

Dilema ini semakin menjadi, lebih modern dari berbagai kerancuan fenomena sosial yang terjadi di zamannya Multatuli yang rela sengsara dengan menjadi penulis idealis untuk menyuarakan kegundahan dan kegelisahan jiwanya meski harus berseberangan dengan inginnya penguasa. Dalam konteks ini, ia lebih memilih menjadi orang yang tunakuasa, namun kaya akan penghayatan sejati kehidupan yang ia lalui.

Setelah Satu Setengah Abad

Pasca ditetapkannya Multatuli sebagai Wakil Residen di Karesidenan Lebak, Indonesia setidaknya butuh 95 tahun lagi untuk merdeka (1850-1945). Dalam rentang waktu itu, para pejuang kita sibuk untuk mendapatkan kemerdekaan yang diidamkannya. Cucuran keringat dan darah menjadi simbol patriotisme pejuang-pejuang bangsa yang teguh memperjuangkan nasib republik. Dan, pasca Jepang kalah dari sekutu pada 1945, Indonesia berhasil merengkuh kemerdekaannya yang disambut secara sukacita oleh seluruh masyarakat.

Namun, perjuangan ternyata belum berakhir. Rezim terus berganti. Pemimpin baik dalam skala lokal maupun nasional secara alami naik-turun. Berbagai konsep pemerintahan dipikirkan dan diimplementasikan. Namun, toh segala yang menjadi cita-cita rakyat masih belum jua tiba.

Seremonial dan serapan biaya yang begitu fantastis untuk menggelar satu acara kontestasi politik saja, pada kenyataannya tidak linier dengan tujuan yang hendak dicapai karena tak jarang "abu-abu". Parade demokrasi yang demikian tak lebih dari hanya menghasilkan orbituari sistem yang berganti-ganti sesuai dengan kepentingan dan keinginan sang winner dengan para latar di sekelilingnya.

Rakyat, yang senyatanya sebagaimana kata Plato sebagai vox dei, tetap menjadi vox vovuli yang mudah untuk dikelabui dan dikebiri karena pereduksian hakikat suara rakyat yang harusnya diakomodasi. Padahal idealnya, rakyat dalam sebuah negara selalu dibayangkan sebagai "persaudaraan setara" (horizontal comradeship), dengan mengabaikan ketidaksetaraan dan berbagai bentuk eksploitasi dalam suatu komunitas (Anderson, 2006).

Atau memang kita sepakat dengan yang dibayangkan Alexis de Tocqueville sebagai "kehidupan demokratis laksana bangunan di atas pasir, artinya amat rentan akan berbagai guncangan" (Wolfgang Merkel, 2005). Century yang tak jelas rimbanya, kriminalisasi terhadap orang-orang tak berdosa, ketidakadilan hukum yang banyak menimpa warga miskin, korupsi besar-besaran oleh pejabat tinggi negara, sampai keharusan mem-vis-vis-kan instrumen kuasa dengan warganya sendiri (Satpol PP vs massa).

Beranjak dari situ, masih banyak pekerjaan rumah yang menuntut siapa pun anak republik ini yang peduli untuk ikut serta membangun bangsa yang berkeadaban. Bahkan, baru-baru ini alat-alat kuasa negara demikian koersif dan refresif dalam menekan aspirasi massa yang menginginkan tercapainya clean government.

Berbagai teror, entah benar atau tidak, menjadi sarana yag dinilai tepat dalam melumpuhkan vital "perusak" citra kuasa, semacam LSM-LSM yang getol melakukan kritik. Maka, jangan heran jika dalam kondisi ini, alat-alat kuasa itu sering kali bentrok dengan para pelaku social movement dalam ruang ‘gelap’, karena nyatanya semua hal tersebut dikreasi dan dimodifikasi sedemikian rupa dengan maksud membatasi ruang pengetahuan publik terhadap apa yang terjadi sesungguhnya. ‘Didepan layar’, alat kuasa itu berdamai, namun ‘dibalik layar’ dendam kesumat selalu merasukinya.

Abdi Kuasa dan Matinya Nalar Kuasa

Apa yang dipertontonkan elite politisi adalah low politics. Politis (kelas) rendah yang mengabdi kepada kedudukan, kekuasaan (Amien Rais, 1998). Ungkapan Amien itu seolah mengamini tesis Jhon Plamenatz (1973) yang menyatakan demokrasi di Indonesia masih berorientasi kekuasaan: "a free competition for power" (persaingan terbuka untuk merebut kekuasaan).

Pileg yang lalu diramaikan oleh caleg-caleg yang stres karena terlilit hutang sebagai modal politisnya, gila, bahkan sampai bunuh diri karena tak kuasa menanggung aib ia yang menganggap diri adiluhung dan "serba komplit" ternyata tak dipilih rakyat. Ramai-ramai para bupati/ walikota, gubernur, dan tokoh nasional mencari "suaka politik" kepada partai penguasa mengindikasikan niat dan perilaku sebagai abdi kuasa.

Dalam hal ini, pengecualian bagi Usmad Hamid, Koordinator Kontras dan praktisi hukum Todung Mulya Lubis yang dengan tegas menolak pinangan Partai Demokrat untuk bergabung. Kita bangga masih ada pihak yang lebih memilih jalur keidealisannya untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, dan menafikan godaan pragmatis yang melenakan.

Menjadi abdi kuasa biasanya mematikan nalar kekuasaan karena yang menjadi subsrat perjuangannya bukan lagi nilai-nilai fundamental bagi kemaslahatan kehidupan berbangsa, melainkan euforia kemenangan dan imbalan politis yang akan didapatkannya. Demokrasi tumbuh di atas aturan hukum yang miskin makna dan etik karena hanya berorientasi menang atau kalah (SN Eisenstadt, 1999).

Dalam kondisi demikianlah, metamorfosa politisi kutu loncat menjadi keniscayaan untuk memuluskan dan menyelamatkan karier politisnya. Terlebih politik sudah dipandang sebagai prestise dan pekerjaan semata, tak lebih. 

Ecep Heryadi
Analis Politik Islam, Mengambil Program Double Degree Ekonomi Islam dan Pemikiran Politik Islam UIN Jakarta, Editor Buku ANTI PARTAI Karya DR Bima Arya Sugiarto.