Kontras Berharap DPR Setujui Ratifikasi Anti Penghilangan Paksa

Indra Subagja – detikNews

Jakarta – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) berharap DPR segera menyetujui ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa (KAPP). Hal ini menyusul langkah Menlu Marty Natalegawa yang kini tengah berada di AS dalam rangka menandatangani konvensi tersebut.

"Kami berharap langkah ini diikuti ratifikasi segera melalui persetujuan DPR. Ini adalah tindak lanjut proses panjang kampanyenya korban dan keluarga korban orang hilang," terang Ketua Dewan Pembina Kontras, Usman Hamid, pada detikcom, Rabu (29/9/2010).

Dia menjelaskan, ratifikasi ini juga adalah pemenuhan janji mantan Menkum HAM Hamid Awaluddin yang berpidato di depan Dewan HAM PBB pada 2006 bahwa Indonesia berkomitmen terhadap perlindungan semua orang dari penghilangan secara paksa.

Berbagai dukungan datang dari kalangan masyarakat sipil dalam dan luar negeri, khususnya dari Amerika Latin dan Asia yang dalam 5 tahun terakhir selalu berkunjung ke Indonesia untuk bersama-sama mengusahakan agar RI meratifikasi konvensi tersebut, melalui rangkaian pertemuan dengan Kemenkum HAM, Kemlu, serta staf serta penasihat presiden hingga Komisi III dan Komisi I DPR.

"Kami harap DPR setujui segera RUU Ratifikasi. Agar RI menjadi negara ke-20 yang meratifikasi konvensi dan membuat konvensi ini berlaku secara hukum, entry into force. Kita juga berharap Presiden dan DPR membuat kebijakan konkret mencari kejelasan nasib aktivis yang masih hilang dan mengupayakan keadilan bagi korban," terangnya.

Kontras juga mengapreasi peran Menkum Patrialis Akbar yang selama ini bersikap terbuka bagi ratifikasi KAPP. "Sekarang tinggal menunggu langkah DPR," tutupnya.

Menlu Marty meneken International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance (Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa)  pada Senin 27 September 2010.

Arti penting Konvensi tersebut bagi Indonesia di antaranya adalah sebagai berikut:

Sistem hukum pidana nasional selama ini hanya bertumpu pada Pasal 333 KUHP dan Pasal 9 huruf I Undang-Undang no. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Penandatanganan Konvensi tersebut dapat memperkuat landasan normatif di tingkat nasional.

Konvensi tersebut juga dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan kerjasama hukum (khususnya melalui ekstradisi dan mutual legal assistance);

Disamping itu, Konvensi tersebut juga secara khusus memberi perhatian pada hak-hak dan perlindungan korban. Keikutsertaan Indonesia sebagai negara pihak pada Konvensi tersebut juga akan menghilangkan legal remedies yang lebih memadai bagi korban penghilangan secara paksa.

Selain itu, Konvensi tersebut juga bertujuan untuk mencegah terjadinya perbuatan eksekusi ekstra yudisial (extra judicial killings) yang dapat dilakukan oleh aparat negara baik dalam keadaan darurat ataupun dalam kondisi damai.

Konvensi ini berlaku non-retroaktif. Sebagai catatan, hingga saat ini Konvensi tersebut belum berlaku secara efektif (entry into force). Hal ini dikarenakan Konvensi mensyaratkan ratifikasi 20 negara terlebih dahulu sebelum berlaku efektif.

Data terakhir menunjukkan 83 negara telah menandatangani dan 19 di antaranya telah meratifikasi. Dari ke-19 negara tersebut, 9 negara berasal dari Amerika Latin, 4 negara Eropa, 4 negara Afrika dan 2 negara dari Asia, yaitu Jepang dan Kazakhstan.

(ndr/nrl)