Timur Pradopo dan X-File Trisakti

TEMPO Interaktif, Jakarta – Bagi aktivis hak azasi manusia, keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencalonkan Timur Pradopo sebagai Kepala Polisi Republik Indonesa bak mengangkat batang terendam. Ingatan mereka terbang ke tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang berunjukrasa menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Empat mahasiswa tewas saat itu.

Nah, waktu itu Timur Pradopo menjabat sebagai Kepala Polres Jakarta Barat. Memimpin anak buahnya di lapangan mengendalikan aksi demonstrasi. Tragedi ini menjadi beban Timur dalam perjalanan kariernya. Komisi Nasional Hak Azasi Manusia keberatan saat presiden menunjuk Timur menjadi Kepala Polri.

“Mestinya, Timur ikut bertanggungjawab secara pidana untuk kasus itu,” kata Usman. Hanya saja, Usman mengakui, untuk kasus yang skalanya nasional seperti kasus Trisakti tentu tak mungkin dibebankan seluruhnya di pundak Timur yang cuma seorang Kepala Polres. Keadaan waktu itu sangat genting dan mengubah situasi politik di Indonesia.

Nama Timur muncul dalam peristiwa Semanggi pada 13 November 1998. Waktu itu suasana sangat kacau. Mahasiswa berunjuk rasa mengepung gedung DPR di Senayan. Tujuan mereka adalah untuk menggagalkan Sidang Istimewa MPR dan menolak Dwi Fungsi ABRI. Saat beraksi mereka berhadapan dengan tentara dan polisi. Ada juga Pam Swakarsa atawa pasukan pengaman yang dibentuk oleh masyarakat.

Di tengah massa yang sedang tegang seperti itulah muncul sebuah mobil jip. Melaju membelah lautan orang, menembus barikade, lalu merapat ke gedung DPR. Si pengemudi tak lain adalah Timur. Di dalam mobilnya berjejal aktivis dan mahasiswa, di antaranya Usman Hamid (kini adalah aktivis Kontras), dan Gunawan yang waktu itu adalah Sekjen Presidium Mahasiswa. Tentu peristiwa ini tak lekang dalam ingatan Usman.

Saat itu, Timur membantu dan memfasilitasi aktivis dan mahasiswa. Kendati demikian yang dikenang para aktivis adalah persoalan yang terjadi di Trisakti. Padahal tragedi yang menjadi urusan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, belakangan kasus malah menjadi salah satu X-File di negeri ini.

Di mata sejumlah anggota polisi justru Timur dianggap sebagai sosok pemimpin berkeringat yang sering sering berada dalam situasi yang rumit. Mulai dari saat negeri ini bergejolak, hingga masa awal reformasi,  Timur masih bertugas berada di Jakarta yang rentan kerusuhan.

Usai dari Polres Jakarta Barat, Timur menjabat Kepala Polres Jakarta Pusat. Jadilah makanannya setiap hari adalah terjun ke lapangan sebab ada unjuk rasa. “Sangat ketat mengawasi Dalmas (Satuan Pengendalian Massa), tiada henti mendampingi anggotanya yang terjun ke lapangan,” kata Brigadir Jenderal Zainuri Lubis. Saat Timur menjadi Kapolres Jakarta Barat dan Jakarta Pusat, Zainuri adalah Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya. Jadi memang sering melihat Timur.

Salah satu yang menjadi perhatian Zainuri waktu itu, Timur tak sempat menyelipkan tongkat komandonya di bawah ketiak atau menenteng-nentengnya sebagaimana lazimnya para para pimpinan di resort dan kewilayahan di Polri.

Timur menyelipkannya di pinggang bagian belakang, persis seperti orang Jawa menyelipkan keris saat berpakaian adat. Zainuri mengatakan bahwa Timur menunjukkan menjalankan tugasnya dalam suasana damai di tengah.

Selain itu, kata Zainuri, barangkali juga khawatir jika tongkat komando di lapangan akan dilihat sebagai sosok yang arogan. Jangan sampai nanti secara tak sadar dia menunjuk anakbuahnya dengan tongkatnya itu saat memberi pengarahan.

Kendati tongkatnya di belakang pinggang, dia berada pada posisi di depan anak buahnya saat berada di lapangan.

Itu pula yang terjadi saat dia menjadi Kepala Polisi Sektor Sawah Besar, Jakarta. “Kesan pertama pada Kepala Polsek Sawah Besar, Jakarta Pusat, itu adalah kumis yang besar. Bertampang rada sangar.” Beginilah awal pertemuan Rustam Effendi, Wakil Camat Sawah Besar pada 1992, dengan Mayor Timur Pradopo.

Berpatokan pada tampangnya, Rustam menduga akan sulit bekerjasama dengan Timur yang jebolan Akpol 1978 itu. Namun perkiraannya meleset. Ternyata, aparat kecamatan mendapatkan mitra kerja yang baik. Kooperatif. Selalu memenuhi undangan untuk ikut rapat ke kantor camat.

Bahkan Timur memimpin sendiri, setiap mereka menggelar patroli di kota. “Orangnya nggak neko-neko,” katanya. Kepada anak buahnya, dia sangat tegas. Usai bertugas di Polsek, Rustam jarang berkumikasi dengan Timur. Kini dia kembali mendengar namanya.

Nurlis E. Meuko