Segera Gunakan Mekanisme Pengadilan HAM di Papua, Bukan Mahkamah Militer

Segera Gunakan Mekanisme Pengadilan HAM di Papua, Bukan Mahkamah Militer

Kami mengapresiasi langkah cepat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memerintahkan pengungkapan peristiwa penyiksaan yang dialami warga di Tinggi Nambut Papua, sebagaimana yang didokumentasikan lewat video

Youtube. Perintah Presiden ini diisyaratkan dengan rencana pengadilan kepada lima anggota TNI Kodam XVII/Cenderawasih yang menjadi pelaku penyiksaan ke Mahkamah Militer, Jayapura, Papua pada kamis (4/11).

Namun kami meragukan proses penyidikan kasus ini bisa akuntabel karena tidak dilakukan melalui proses penyelidikan dan penyidikan yang independen dan terbuka. Kelima tersangka pelaku penyiksaan hanya diproses melalui mekanisme peradilan Militer (sebagaimana yang diatur dalam UU nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer). Mekanisme ini sangat tidak tepat secara hukum maupun secara kontektual.

Secara hukum, kekerasan yang terjadi didalam video Youtube jelas merupakan tindakan introgasi yang menggunakan kekerasan (Baca: Penyiksaan). Penyiksaan masuk dalam kategori pelanggaran berat HAM sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 UU nomor 5 tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penyiksaan dan UU no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dimana dipasal 9 disebutkan bahwa Penyiksaan merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

Secara konteks, upaya UU peradilan militer tidak bisa diberlakukan mengingat memiliki sejumlah kelemahan; pertama, penyiksaan tidak diakomodir pengaturannya didalam KUHPM (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer). Kedua, UU Permil sangat dominan dintervensi oleh Panglima TNI. Dengan kata lain tidak ada independensi Hakim dan aparat hukumnya. Ketiga, Mekanisme Permil tidak memberikan ruang pemantauan dan keterlibatan masyarakat dan korban secara baik (unfair). Kami khawatir jika mekanisme Permil yang dikedepankan maka hanya akan menghukum aparat-aparat lapangan belaka. Tidak ada pertanggung jawaban komando atas peristiwa-peristiwa kekerasan di Papua dan tidak bisa mengkoreksi kebijakan pengamanan yang berimplikasi buruk pada situasi di Papua.

Lebih jauh proses ini dilakukan disaat dan pada kondisi dimana pengamanan oleh TNI dan Polri tetap diberlakukan secara ketat sehingga ruang gerak masyarakat sipil di Papua sangat minim.

Dalam catatan hasil pemantauan KontraS yang juga disebutkan dalam laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bahwa peristiwa penyiksaan terhadap warga di Tinggi Nambut Papua merupakan peristiwa berulang dengan metode penyiksaan yang sama. Sebelumnya, seorang aktivis Yawan Manase Wayeni dibunuh setelah mengalami penyiksaan pada tanggal 13 Agustus 2009 di Serui, dan Pembunuhan Opinus Tabuni pada peringatan hari pribumi internasional, 9 Agustus 2008 di Wamena. Kasus-kasus tersebut merupakan bagian kecil dari daftar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua dan tidak melalui proses pengungkapan yang berkeadilan bagi korban dan keluarganya.

Oleh karenanya Kami meminta Presiden SBY hendaknya mengubah kebijakan dasar penyelesaian masalah Papua melalui dialog konstruktif yang mengedepankan pembangunan kesejahteraan yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi warga Papua. Presiden harus segera memastikan kebijakan dengan pendekatan keamanan harus segera dikurangi. Secara khusus terkait kasus video

Youtube, Termasuk meminta Komnas HAM membentuk Tim Penyelidik Pelanggaran HAM di Papua terutama atas peristiwa di Tinggi Nambut dan Serui dan membawa kedua kasus ini ke Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Kami khawatir, perintah Presiden untuk mengungkap peristiwa ini hanya sebagai tindakan parsial menjelang kedatangan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama dan Perdana Menteri Australia, Julia Gillard. Kedua Negara ini memiliki peranan cukup penting dalam proses reformasi sektor keamanan di Indonesia. Dukungan kedua Negara ini selalu menyaratkan penyelesaian kasus-kasus pelanggran HAM yang dilakukan oleh aktor keamanan di Indonesia.

 

Jakarta, 3 Nopember 2010

Haris Azhar (KontraS), Sinal Blegur (Foker LSM Papua), Andi K Yuwono (Perkumpulan Praxis) dan Heni Lani (Aliansi Mahasiswa Papua)