Pemerintah Tak Paham Reformasi Militer

JAKARTA, KOMPAS.com – Tidak masuknya pembahasan UU Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2011 di DPR dinilai sebagai bentuk tidak pahamnya DPR dan Pemerintah terhadap agenda reformasi TNI dan reformasi peradilan. Berlarutnya pembahasan UU itu dinilai akan terus menguntungkan militer.

"Padahal agenda RUU Peradilan Militer telah dibahas sejak 5 tahun dan belum tuntas hingga kini. Anggota DPR dan pemerintah tidak paham agenda reformasi peradilan dan reformasi militer," kata Hariz Azhar, koordinator Kontras, di Kantor Kontras di Jakarta, Minggu (19/12/2010).

Hariz mengatakan, sistem peradilan militer saat ini tidak independen sehingga mempersulit korban untuk mendapat keadilan atas kasus pelanggaran HAM yang melibatkan unsur TNI. Praktik peradilan militer, kata dia, kerap menimbulkan kontroversi keadilan seperti dalam kasus Alas Tlogo dan kekerasan oleh anggota TNI di Papua.

"Dengan UU Peradilan Militer ini, militer tidak perlu berurusan di luar peradilan militer seperti pengadilan HAM, Tipikor. Modus sekarang, jika ada kasus melibatkan TNI, militer akan cepat mengambil barang bukti. Dalam waktu yang tidak lama digelar pengadilan dan diputuskan. Tidak ada akses untuk keluarga korban dalam pengadilan," jelas dia.

Selain itu, tambah Hariz, pihaknya menyayangkan tidak dimasukkannya ratifikasi Perjanjian Internasional Konvensi Pencegahan Penghilangan Orang Secara Paksa. Padahal, perjanjian itu sudah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia pada Agustus 2010 di New York. "Bahkan, dalam konteks internasional, konvensi ini akan diberlakukan pada 23 Desember 2010," kata dia.

Dalam prolegnas 2011, tambah Hariz, pihaknya menyambut baik pembahasan UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, UU Kejaksaan, dan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembahasan UU Pengadilan HAM dapat memecahkan kebuntutan penanganan pelanggaran HAM berat. "Selama ini terus terjadi lempar tanggung jawab antara Komnas HAM, Jaksa Agung, DPR, dan Presiden," kata dia.

Terkait pembahasan RUU yang menyangkut hak-hak kelompok rentan seperti RUU Kesetaraan Gender, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Rahasia Negara, RUU Penanganan Konflik Sosial, ucap Hariz, RUU itu harus menjamin pemenuhan kelompok rentan di wilayah konflik maupun privat. "Tidak dibenarkan untuk dijadikan alat legalisasi praktek diskriminasi," ujar dia.