Kontras Minta Komnas Berani soal Kasus Papua

TEMPO Interaktif, Jakarta – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai Komnas HAM kurang tegas dan berani dalam menyikapi kasus pelanggaran HAM di Puncak Jaya, Papua. Komnas menyimpulkan hanya terjadi pelanggaran HAM serius dalam kasus yang melibatkan anggota TNI itu.

"Komnas HAM harus berani, karena Panglima TNI yang baru ini sangat reformis," kata Koordinator Kontras, Haris Azhar, ketika dijumpai dalam acara Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Jum’at (7/1). 

Menurut Haris, kesimpulan adanya pelanggaran HAM harusnya meluncur dari otoritas yang berwenang berbicara soal pelanggaran HAM di Indonesia, yaitu Komnas HAM. Pernyataan dari TNI soal itu tidak dapat dijadikan dasar.

Ia juga mendorong agar Dewan Perwakilan Rakyat mendukung penuh kinerja Komnas. Hal itu bukan untuk mendiskreditkan TNI, melainkan sebaliknya. "Supaya TNI kita juga lebih akuntabel kan. Kalau Komnas HAM berwibawa, berani, saya pikir diterima kok sama TNI," imbuhnya.

Kontras, kata Haris, tetap berkesimpulan telah terjadi pelanggaran berat HAM di Papua. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan kantor perwakilan Kontras, memang banyak peristiwa-peristiwa pelanggaran berat HAM di Papua. "Satu penyiksaan saja itu sudah termasuk pelanggaran berat HAM. Sudah menggangu hak fundamental (individu)," ujarnya.

Haris mengatakan, jika Komnas menyatakan kasus Papua sebagai pelanggaran serius, dikhawatirkan tidak akan masuk dalam kategori hukum di Indonesia, meski dalam terminologi HAM, pelanggaran serius itu diterima. "Tapi nggak ada konsekuensi hukumnya," kata dia. 

Beda halnya jika Komnas menyatakan telah terjadi pelanggaran berat HAM di Papua, sehingga bisa masuk ke dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Akibatnya, kasus tersebut bisa diteruskan untuk diproses ke pengadilan HAM.

Haris mengatakan, setelah memperhatikan rekomendasi yang dikeluarkan Komnas, kejadian kekerasan di Papua seharusnya dilihat sebagai sebuah peristiwa, sehingga pendekatannya bukan dikaji, tapi diselidiki. "Jadi saya khawatir Komnas HAM agak salah menerapkan metode atau pendekatan terhadap kasus yang ada di Papua," ujarnya.

Untuk menemukan adanya indikasi pelanggaran berat HAM di Papua, lanjutnya, Komnas harus mengambil pendekatan melalui penyelidikan. Jika Komnas menyatakan bahwa pelanggaran HAM di Papua bukan berat, ia justru ragu apakah kajian Komnas sampai mengakses bukti-bukti. "Kalau bisa mengakses bukti-bukti, itu namanya kan penyelidikan," ujarnya.

Haris mengatakan, ketegasan sikap Komnas sangat penting, bahkan bagi TNI itu sendiri. Komnas tidak perlu khawatir terhadap sikap yang akan ditunjukkan TNI jika kasus Papua dinyatakan sebagai pelanggaran berat HAM. 

"Saya pikir tidak ada masalah. TNI juga tidak usah khawatir terhadap itu. Karena hal itu justru membuat TNI lebih akuntabel di mata publik," kata dia.

MAHARDIKA SATRIA HADI