Tak Ada Pelita di Talangsari

Hari ini di dusun itu. Harapan masih jauh.

Jumat sore, 2 Februari 2011. Hanya ada Mbah Mun, Mas Cip, dan saya. Mendung menggayut di atas rumah. Namun hujan belum bersedia turun.

Kami duduk di ruang tamu rumah Mbah Mun. Rumah bata berdinding keramik ini dibangun tahun 2003. Mbah Mun dan Mas Cip bukan orang yang gampang membuka pembicaraan. Ayah dan anak itu itu hanya bicara seperlunya. Suasana dingin itu tampaknya lazim di rumah Mbah Mun.

“Nggak mandi Mas?” Mas Cip yang bernama lengkap Sucipto Prayitno, bertanya pada saya seolah hendak memecah kebekuan.

“Iya, sebentar lagi,” jawab saya.

Mas Cip pergi kebelakang, meninggalkan saya dan Mbah Mun. Dari dapur, terdengar suara jebar-jebur air. Tak lama, Mas Cip kembali. “Airnya sudah saya isi Mas.”

Saya terkejut. Pertanyaan Mas Cip tentang “mandi” ternyata bukan basa-basi. Dia mengisi bak mandi untuk saya.

“Mas nimba?”

“Iya. Mau pake mesin (air) nggak kuat listriknya Mas. Harus diakalin. Kabelnya ngambil massa dari tanah,” kata Mas Cip.

Mas Cip lalu menunjukkan kabel yang dia tanam ke tanah untuk mengambil massa listrik. Dia menerangkan bagaimana mengambil massa dari tanah dengan menanam kabel. Satu kabel ditanam dekat sumur, satu lagi di dekat beranda.

“Kalo di meteran (kwh meter PLN) kan ada dua kabel. Kabel yang satu buat api, kabel yang satu ditanam ke tanah buat massa. Kabel massanya aku nggak pake meteran, tapi aku tanam sendiri,” kata Mas Cip.

Sejak tahun 1989, Dusun Talangsari III, Lampung Timur ini, tak mendapat aliran listrik. Penduduk patungan membeli kwh meter dari PLN seharga Rp 2 juta. Kwh meter itu dititipkan di salah satu rumah penduduk di Kelahang, desa tetangga yang dapat listrik.

Listrik berkekuatan 950 watt itu dibagi untuk 25 rumah di Desa Talangsari III. Kabelnya disangga galah bambu sebagai tiang listrik. Kabel itu menjuntai 1 kilometer dari Dusun Kelahang ke Talangsari III.

Menurut Kaseman, warga Talangsari III, listrik dibayar sesuai alat elektronik yang dipakai. Satu bohlam lampu kena biaya Rp 5 ribu per bulan. Sedangkan bohlam yang dipasang di luar rumah untuk penerang jalan dapat potongan iuran jadi Rp 3 ribu.

“Per lampu lima ribu (rupiah). Kalo TV lima belas ribu, lampu luar itu cuma tiga ribu,” kata Kaseman.

Di rumah Mbah Mun ada lima bola lampu. Satu menggantung di dapur berlantai tanah, satu di ruang tengah yang dilengkapi televisi 21 inchi plus vcd, satu di kamar tidur, satu di ruang depan, dan satu lagi di beranda.

Usai azan maghrib, hujan mengguyur Dusun Talangsari III. Dingin. Mas Cip masih canggung berusaha membuka pembicaraan.

Tak lama, Mbah Mun datang membawa semangkuk besar nasi, lauk, dan seplastik kerupuk. Ha! Hajat makan malam sudah tiba kiranya. Saya memang sudah lapar sejak sore.

Menu malam itu: nasi putih, sayur tahu dan terong pedas, ditambah kerupuk. Saya makan lahap dan bersemangat.

Mbah Mun yang tak banyak bicara, mengomentari cara makan saya. “Pelan-pelan,” kata dia seperti seorang kakek yang mengajarkan cucunya tentang adab makan. Saya terkejut dan langsung memperlambat suapan.

Acara seusai makan di rumah Mbah Mun menonton televisi. Di ruang keluarga, Mas Cip tertawa pelan menyaksikan kelucuan sebuah kuis keluarga di salah satu stasiun televisi.

Dan… Pet!

Listrik mati. Mbah Mun menyalakan lampu minyak. Dia menggunakan bohlam bekas sebagai wadah lampu minyak. Bohlam bersumbu itu digantung di langit-langit persis bohlam listrik.

***

Mengapa tak ada listrik di Dusun Talangsari III?

Nama Dusun Talangsari III sudah dihapus dalam peta resmi pemerintah. Seperti ditulis dalam buku Talangsari 1989: Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung, karangan Fadilasari, sejak 1994 nama Desa Talangsari III diganti menjadi Subing Putera III.

Nama baru itu tak pernah akrab di telinga masyarakat. Hingga kini, masyarakat lebih mengenal Talangsari ketimbang Subing Putera III.

Sunaji (56 tahun), warga Way Jepara-ibu kota kecamatan terdekat dari Talangsari III-menduga pengubahan nama itu siasat pemerintah untuk melupakan tragedi yang pernah terjadi di sana. Mengubah nama dianggap dapat menghapus ingatan. “Itu akal-akalan supaya bisa dilupakan,” kata Sunaji.

Sunaji pemimpin pondok pesantren Al Islam. Ponpes Al Islam terletak di Way Jepara, 40 kilometer dari Talangsari III. Pada tragedi 6,7, dan 8 Februari 1989, keponakan Sunaji dan beberapa santrinya yang berada di Talangsari tewas ditembak tentara Korem Garuda Hitam. Saat itu, Garuda Hitam dipimpin Letkol Abdullah Muhamad Hendropriyono.

Talangsari menjadi titik hitam yang hilang timbul dalam sejarah Lampung. Di Dusun Talangsari terdapat Dukuh Cihideung. Artinya air hitam. Nama tersebut diberikan warga Sunda yang pertama bertransmigrasi ke wilayah itu.

“Dulu waktu pertama kemari, emang ireng (hitam) air kalinya,” ujar istri Mbah Mardi, warga Talangsari III dalam perbincangan di rumahnya.

Dusun Talangsari III adalah salah satu dusun dari 10 dusun di kawasan Desa Rajabasa Lama.

Awal Februari 1989, kisruh di desa yang mayoritas dihuni petani singkong itu pecah. Menurut catatan Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), setidaknya 218 orang termasuk perempuan dan anak-anak tewas ketika tentara menyerang Desa Talang Sari.

Setelah 22 tahun berlalu, jumlah korban masih simpang siur. Pemerintah dan aparat keamanan mengakui 27 warga Talangsari III tewas dalam peristiwa itu. Setelah Presiden Soeharto lengser, pemerintah mengakui data jumlah korban tewas menjadi 37 orang.

Menurut catatan Fadilasari, pemerintah menilai pondok pesantren di Cihideung yang dipimpin Warsidi membangkang pemerintah. Warsidi menolak Pancasila sebagai azaz tunggal.

Padahal menurut pengakuan Jayus, bendahara pondok pesantren Cihideung, Warsidi tidak berniat mendirikan negara islam yang berafiliasi dengan gerakan Negara Islam Indonesia (NII).

”Pada 1986, jamaah sini keluar dari NII,” kata Jayus dalam perbincangan di rumah Mbah Mardi.

Menurut dia, penolakan azas Pancasila itu hanya wacana. Andaikan Warsidi ngotot menerapkan cara Islam sebagai pengganti Pancasila, itu hanya akan diterapkan di lingkungan Cihideung. “Memang (Cihideung) ingin dijadikan perkampungan muslim yang benar-benar menegakkan syariat Islam,” kata Jayus.

Pemerintah menuduh pengajian yang dipimpin Warsidi menyebarkan bibit separatis. Perdebatan soal benar-tidaknya pengajian Warsidi ingin memberontak dan mendirikan negara Islam, masih samar.

Warga Desa Talangsari III dilabel “mujahidin” pemberontak. Seperti dulu Orde Baru memberi cap orang-orang yang menentang pemerintah sebagai anggota Partai Komunis Indonesia.

Tidak banyak literatur atau dokumen yang benar-benar memuat kesaksian korban sebagai sumber utama. Sejarah kelam pelanggaran HAM di Lampung itu, didominasi informasi sepihak dari mulut penguasa.

Pelurusan sejarah bisa dimulai dari kronologis kematian Komandan Koramil Way Jepara, Kapten Soetiman, yang mati ditebas parang Marsudi, tetua pondok pesantren Cihideung.

Dalam buku ”Talangsari 1989: Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung” yang ditulis Fadilasari, menggambarkan kematian Kapten Soetiman sebagai pemantik tragedi berdarah itu.

Menurut buku tersebut, beberapa bulan sebelum kejadian, jumlah murid pengajian Warsidi meningkat pesat. Mereka datang dari Solo, Surabaya, Tanjung Priok, dan beberapa wilayah di Lampung.

Kepala Dusun Cihideung, Sukidi, menganggap warga pengajian tidak santun karena tidak melapor.

Dalam bukunya, Fadilasari juga menuliskan jamaah Warsidi sering mencuri singkong penduduk. Alasannya tidak ada milik pribadi di muka bumi karena semuanya milik Allah.

Pada Rabu 11 Januari 1989, Sukidi melaporkan pengajian Warsidi ke Kepala Desa, Amir Puspa Mega. Dalam surat laporan, Sukidi mengatakan, dusunnya kedatangan tamu 15 orang untuk mengikuti pengajian yang dipimpin Warsidi.

”Mereka difasilitasi oleh Jayus, seorang warga dusun pemilik rumah dan pondok-pondok di sekitarnya. Semua tamu yang datang, termasuk Warsidi dan Jayus tidak pernah melapor ke kepala dusun,” tulis Fadilasari.

Kabar itu sampai ke telinga Camat Way Jepara, Zulkifli Maliki. Merasa situasi ini genting, Zulkifli meminta Amir menghadapnya bersama Jayus, Warsidi, Sukidi, dan Mansyur. Sukidi menemui Warsidi mengantar surat panggilan tersebut.

Warsidi menolak panggilan camat. Mengutip hadis Nabi, Warsidi mengirim surat mengundang balik Zulkifli datang ke pondoknya. “Sebaik baik, umaro (pejabat) adalah umaro yang mendatangi ulama. Dan seburuk-buruknya ulama, adalah yang mendatangi umaro.”

Surat balasan tersebut membuat situasi panas. Menjelang adzan Zuhur, 6 Februari 1989, Komandan Koramil Way Jepara, Kapten Soetiman bersama 20 orang anggota rombongan mendatangi pondok pesantren Cihideung. Camat, lurah, kepala desa, kepala dusun, dan beberapa anggota Koramil Way Jepara termasuk dalam rombongan.

Kronologis peristiwa ini ada dua versi. Fadilasari hanya menjelaskan, Soetiman dikepung jamaah pengajian setelah dua pistolnya kehabisan peluru.

“Posisinya yang masuk ke komplek pengajian tak bisa lari karena dikepung jamaah. Punggungnya terluka karena panah. Dia sedang meringis berdarah-darah, datanglah Marsudi, yang akrab dipanggil Pak Su, memenggal kepalanya dua kali dari samping kanan dan kiri..blass..blass..putus,” tulis Fadilasari dalam bukunya.

Gambaran tersebut berbeda dengan kesaksian Jayus. Jayus mengakui Pak Marsudi memenggal kepala Kapten Soetiman. Namun, itu terjadi setelah Kapten Soetiman memuntahkan peluru serampangan ke arah para santri.

Kapten Soetiman menghabiskan seluruh peluru dari dua pistol yang dipegang masing-masing tangannya. “Memang benar Pak Su yang gorok,” kata Jayus.

Sunaji, membela Pak Marsudi. “Wong muridnya ditembak, siapa yang nggak marah?” ujar Sunaji.

Kematian Kapten Soetiman dianggap sinyal perang oleh tentara. Esoknya, 7 Februari 1989, aparat keamanan menyerbu Cihideung. Menurut Komite Smalam, 6 pleton tentara, 50 anggota satuan Brigade Mobil beserta dua helikopter, turun menggempur Talangsari III.

Sementara versi Pangdam II Sriwijaya saat itu, Mayjen Sunardi, hanya ada 40 orang anggota Polri dan Brimob dibantu 3 peleton anggota Korem 043 Garuda Hitam.

Pagi itu menjadi pagi berdarah. Bangunan pesantren, musholla Al Mujahidin, dan 24 rumah penduduk Cihideung dibakar. Warsidi, pimpinan pesantren, tewas ditembak sebelum diseret dan dipancung.

Sejak itu, Dusun Talangsari III diisolasi tentara. Di gerbang desa, tegak papan pemberitahuan bahwa tanah Dukuh Cihideung milik Korem 043 Garuda Hitam.

Siapa saja yang tersesat di Cihideung karena mencari jalan, sudah pasti keluar babak belur dihajar tentara. Warga yang tinggal atau sekedar kenalan dengan anggota pondok pesantren Warsidi akan ditangkap. Mereka dipenjara tanpa diadili dan disiksa dalam tahanan.

Sejak peristiwa tersebut, Dusun Talangsari III tidak pernah dialiri listrik. Ketika korban Talangsari menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2008, Presiden berjanji akan mengirimkan tim untuk melihat desa itu paling lambat 10 hari sejak pertemuan di Istana.

“Saya bilang, warga Talangsari itu ndak dapat listrik. Presiden berjanji akan kirim tim 10 hari setelah pertemuan itu. Tapi mana? Sudah hampir dua tahun ndak ada juga gerakannya,” kata Azwar Kaili, salah seorang korban yang sempat menemui Presiden. (bersambung)

Foto: VHRmedia/Hervin Saputra