Kasus Talangsari 22 Tahun Menggantung

Jakarta, Kompas – Kasus Way Jepara atau Talangsari Lampung, yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat yang mengakibatkan 130 orang tewas, masih menggantung penuntasannya setelah 22 tahun.

Aktivis HAM Siti Musdah Mulia dalam diskusi di Kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Senin (7/2), mengatakan, kasus Talangsari harus diputus secara hukum untuk menentukan siapa yang bersalah.

”Sesudah ada keputusan hukum, barulah kita bisa bicara soal rekonsiliasi dan islah. Itu merupakan cara paling afdal bagi semua pihak. Kasus ini masih menggantung di Kejaksaan Agung dan belum tuntas setelah puluhan tahun,” kata Musdah.

Salah satu korban Talangsari, Tardi Nurdiansyah (38), mengaku dirinya ditangkap dan disiksa aparat, lalu divonis 17 tahun penjara di Nusakambangan. Ia baru dibebaskan setelah rezim Orde Baru tumbang. Sejak dibebaskan, Tardi belum pernah kembali ke Way Jepara.

Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Slamet Effendy Yusuf menegaskan, kasus Talangsari, Haur Koneng, hingga Tanjung Priok disebabkan fobia Islam dari pihak penguasa.

”Agar tidak terjadi fobia, PBNU tahun 1984 membuat terobosan dengan menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah final. Adapun bentuk penerjemahan filosofi Islam dalam bernegara banyak dilahirkan dalam pelbagai perundangan. Jadi, tidak bicara secara formalistik membuat negara agama,” kata Slamet.

Pengamat intelijen dari Pro Patria, Hari T Prihartono, mengatakan, kekerasan dan pembiaran oleh negara, seperti kasus Talangsari, pembantaian 1965, hingga kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah, terjadi karena aparat TNI, Polri, dan intelijen masih menjadi alat kekuasaan, bukan alat negara. (ONG)