Aktivis HAM: Polri Tak Perlu Detasemen Baru

JAKARTA – Markas Besar Kepolisian RI berencana membentuk Detasemen Penanggulangan Anarkis menyusul maraknya aksi-aksi kekerasan di sejumlah tempat di Tanah Air belakangan ini. Rencana tersebut disampaikan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo, Selasa 1 Maret lalu.
 
Aktivis HAM Usman Hamid menilai, pembentukan Detasemen ini tidak perlu dan kembali lagi mengulangi pola yang sama seperti pembentukan badan lain sebelumnya. Pemerintah seringkali menjawab suatu persoalan dengan membentuk badan atau undang-undang baru tanpa menyentuh akar masalah. Berikut petikan wawancara okezone dengan mantan Koordinator untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu.
 
Bagaimana tanggapan anda tentang Detasemen Penanggulangan Anarkis, apakah ini menjawab persoalan?
 
Sulit itu, yang sekarang dibutuhkan sebenarnya apa yang mau dibenahi Polri di dalam pelaksanaan di lapangan dan khususnya dalam konteks aparat Kepolisian di kecamatan dan juga provinsi. Yang dibutuhkan sebenarnya penguatan kelembagaan polisi yang ada bukan pembentukan unit baru. Kalau unit baru dibentuk tanpa membenahi yang lama tidak akan banyak membantu.
 
Pertimbangan untuk membentuk detasemen khusus dengan alasan dapat menggunakan tindakan pelumpuhan tidak kuat, karena memang Kepolisian di sektor Cikeusik dan Temanggung misalnya, sudah memiliki kewenangan untuk melumpuhkan seseorang seandainya tindakan mereka mengancam keselamatan petugas. Lalu apa yang baru kecuali detasemennya sendiri?
 
Kalau nanti detasemen ini dibiayai khusus, pelatihan khusus, senjata khusus, apakah tidak justru menimbulkan jarak antara kemampuan di tingkat detasemen dengan kemampuan aparat Kepolisian yang regular di berbagai tingkat? Selama ini ada semacam kecemburuan terhadap Densus 88 karena sering mendapatkan pujian, tetapi Kepolisian secara keseluruhan justru mendapat serangan dan salah satu faktor yang dapat memungkinkan Detasemen lebih dari normal karena pembiayaan yang  luar biasa. Jangan sampai itu diulangi lagi.
 
Kalau memang Kepolisian tak bisa melakukan pengerahan personel karena faktor pendanaan maka itu yang seharusnya dibenahi. Kalau tak mampu negosiasi untuk mencegah kekerasan maka itu yang ditingkatkan, supaya polisi betul-betul mampu mengayomi masyarakat. Kalau memang kemampuan mengejar pelaku kekerasan sulit karena kemampuan reserse tidak memadai, itu yang dibenahi. Apakah kepala resersenya ditarik, dipindah, ganti baru atau kemampuan intelijen sektor yang harusnya diganti, bagian intelkam kan punya kewenangan itu.
 
Jangan sampai masalah yang ada tidak diperbaiki dengan membentuk suatu yang baru. Ini yang saya kira pertanyaan kritis terhadap Densus, dan kita seringkali cenderung menyikapi kegagalan seperti mencegah peledakan bom, konflik kekerasan masif dengan alasan yang menjauhkan kita dari masalah. Misalnya sesaat sesudah ledakan bom ada yang mengatakan kita tidak punya undang-undang khusus yang memberikan wewenang untuk pencegahan, kita tak punya lembaga khusus dan sebagainya. Seolah-olah aparat negara tak punya undang-undang untuk mencegah bom, kekerasan sosial, konflik sosial.
 
Sekarang kita mengulangi lagi seolah badan yang ada tidak pernah memberi mandat untuk menangani itu, melumpuhkan para pelaku kekerasan, misalnya di Cikeusik. Itu pandangan keliru yang memperlihatkan bahwa negara melakukan sesuatu dan membentuk yang baru, padahal dengan perangkat yang ada berikut dengan wewenang yang dimilikinya itu sudah cukup.
 
Persis seperti kasus terorisme, dikatakan kita enggak punya undang-udang lalu dibikinlah undang-undang, kita enggak punya detasemen khusus lalu dibikin lagi badan baru dengan gaji personel yang beda jauh, pelatihan yang beda jauh, persenjataan yang beda jauh dan kecepatan naik pangkat itu juga beda, ini yang harus dihindari.
 
Apakah pendekatan keamanan seperti ini bisa menyelesaikan masalah?
 
Kalaupun mau menggunakan pendekatan keamanan itu masih ada dalam ranah kepolisian untuk menjaga keamanan dalam negeri. Tetapi apakah itu yang didahulukan? Atau pendekatan persuasif yang diandalkan sebelum peristiwa itu terjadi. Saya kira Kepolisian harus jelas, pada saat masalah itu masih dalam bentuk gejolak di masyarakat, itu seharusnya polisi harus memastikan tokoh masyarakat setempat, pejabat daerah mengerti kalau terjadi kekerasan maka pendekatan represif akan dilakukan.
 
Misalnya apabila angkat senjata maka akan dilumpuhkan karena membahayakan orang lain, kalau memukul orang ditangkap, kalau massa berkumpul dan menghasut kekerasan terhadap minoritas itu dibubarkan. Jadi jelas pesannya.
 
Saya kira akar masalah dalam kasus Cikeusik, Temanggung, kita selalu menghindari akarnya. Kalau ditanya relasi Islam-Kristen misalnya, pejabat-pejabat kita selalu mengatakan tidak ada masalah, sering ada dialog. Demikian juga dengan kelompok Ahmadiyah. Lalu pertanyaannya apakah dialog itu bisa dihitung angka statistik dan jika tetap ada perbedaan bisa divonis sesat? Ini kan jadi masalah dalam pejabat kita, seperti menimpa Ahmadiyah di berbagai daerah saat ini. (abe)