Menunggu Mereka yang Belum Kembali

Tepat tiga belas tahun yang lalu, tiga belas orang anak bangsa pendamba demokrasi dihilangkan paksa oleh negara. Hingga kini, terhitung tiga belas tahun sudah, di tanggal yang sama, 13 Maret 2011, mereka belum kembali. Mereka pergi tanpa pesan.

Di bawah payungan halte Megaria, Herman Hendrawan, seorang aktivis Partai Rakyat Demokratik diculik. Mahasiswa Universitas Airlangga itu diculik setelah menghadiri sebuah konfrensi pers di YLBHI. Herman adalah satu dari tiga belas korban penculikan  pada Maret 1998 yang tak kunjung pulang.

“Di tempat ini lah Herman Hendrawan terakhir dilihat. Sejak 12 maret 1998 sampai sekarang belum diketahui keberadaannya. ” Ujar Mugiyanto, salah satu korban penculikan yang berhasil selamat, dan kini menjadi Koordinator Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI).

Di bawah payungan halte yang sama, Gerakan 13 (G13) dan keluarga korban, melakukan rekonstruksi penculikan Herman. Hal ini mereka lakukan untuk melawan lupa dan berusaha membuka mata para penegak hukum. Mereka tidak sekedar menanti kabar dengan sabar, tapi juga meminta pemerintah segera sadar.

“Rekonstruksi penculikan Herman Hendrawan juga menjadi penting, karena tidak pernah sekalipun institusi penegak hukum di Indonesia melakukan hal ini. G13 berinisiatif untuk melakukan kegiatan ini untuk mengingat kembali serpihan-serpihan peristiwa yang terjadi di masa itu dan membuka mata institusi penegak hukum di Indonesia.” Ujar Mugiyanto yang juga panitia G13.

Keluarga dari tiga belas korban penculikan kini hanya bisa menunggu tindakan pemerintah. Tanggal 28 September 2009 lalu, mereka seakan menemui titik terang ketika DPR mengesahkan empat rekomendasi untuk kasus penghilangan paksa 1997/1998. Salah satu poin rekomendasi itu adalah mencari tiga belas korban yang masih hilang.

Namun rekomendasi tersebut kini hanya menjadi pepesan kosong. Bola kini sudah ditangan pemerintah, namun entah mengapa pemerintah seakan takut untuk melakukan penyelidikan atas kasus ini.

Tuti Koto, ibu dari Yani Afri yang juga salah satu korban penculikan, hanya dapat diam dalam seribu tanda tanya. Tanda tanya terbesarnya tentu saja, “mengapa pemerintah tak pernah sanggup selesaikan kasus ini?”.

“Rekomendasi DPR sudah sejak setahun lalu, tapi kok masih begini? SBY kok begini? Sampai saat ini tidak berbuat apa-apa. Mami sudah bertemu SBY, tapi mami ingin menanyakan janji SBY, apa dia bisa selesaikan masalah ini? Mami tetap ingin cari 13 orang itu. Kenapa sampai sekarang nggak bisa ketemu? Masa nggak bisa nuntasin? Ada apa?” Ujar wanita itu dengan wajah penuh tanya.

Bagi wanita yang akrab disapa Mami Koto ini, hidup atau mati anaknya bukan lagi perkara, ia mengaku hanya bisa pasrah. Namun, ia akan tetap menuntut penyelesaian kasus ini secara hukum. Jika tidak, Mami mengaku khawatir hal serupa akan menimpa ibu lainnya.

“Mami ini tidak mengerti politik, tapi mami tetap akan cari tahu anak mami. Hidup atau mati anak mami, mami sudah pasrah pada yang di atas. Tapi soal penegakan hukum, mami akan tuntut sampai tuntas. Kalau tidak dituntaskan, hal ini akan terjadi lagi nanti.” Ujar Mami.

Selain Ibu yang menunggu anaknya, ada pula putri yang menunggu sang ayah. Fitri Nganthi Wani, kehilangan sosok ayahnya sejak usia 8 tahun. Kini anak penulis puisi revolusioner, Wiji Thukul itu telah menjelma menjadi gadis remaja, namun nasib ayahnya yang masih abu-abu tetap tidak bergerak ke arah hitam atau putih.

“Kalau ditanya, tentang status bapak, ibu harus jawab apa? Kalau meninggal, tidak ada surat kematiannya, kuburannya dimana? Kalau hidup, tidak ada juga, kalau cerai, hubungan kami baik-baik saja.” Tutur Fitri.

Fitri sendiri mengaku status abu-abu sang ayah merupakan halangan bagi keluarganya ketika mengurus sejumlah administrasi negara. Hingga kini nama ayahnya masih tercantum dalam kartu keluarga, hanya nama, tanpa raga. Urusan mudah seperti kredit laptop, atau mengurus passport menjadi sulit, karena tidak ada tanda tangan sang ayah.

“Ketika bapak dianggap buronan, kamu bisa melewati itu. Tapi untuk urusan administrasi negara kami tidak bisa. misalnya saja, mau kredit laptop, harus ada tanda tangan bapak, mau buat passport juga tidak bisa. Mau apa-apa juga sulit.” Ujar Fitri.

Marah, sedih dan kecewa semua ini yang dirasakan gadis 21 tahun ini. Bagi Fitri, akan lebih baik jika pemerintah tidak berjanji. Kalau tidak bisa menyelesaikan kasus ini, menurutnya pemerintah sebaiknya mengaku dan jangan berikan harapan palsu.

“Kalau dibilang marah, iya. Kecewa apa lagi. Saya ini orang yang tidak suka menunda pekerjaan. Ini sudah tiga belas tahun pemerintah hanya bisa berjanji. Mereka sudah berjanji, tapi hanya sebatas janji. Apa buktinya? Kalau negara memang tidak sanggup, bilang saja. Kami sekarang butuh surat yang menyatakan negara tidak bisa menyelesaikan masalah ini, berilah surat keterangan kalau bapak hilang.” Tuntut Fitri