Komnas Tak Sepakat Intelijen Sadap Tanpa Izin Pengadilan

TEMPO Interaktif, Jakarta –  Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) tak setuju jika intelijen berwenang melakukan penyadapan tanpa seizin pengadilan. Sebab, kewenangan tersebut sangat rentan disalahgunakan penguasa. Mereka berkukuh penyadapan oleh intelijen harus tetap seizin pengadilan.

"Dengan kewenangan itu, tak ada lembaga yang bisa menyaring tindakan intelijen kecuali lembaga itu sendiri," kata Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim saat dihubungi kemarin. "Intelijen tidak perlu diberi kewenangan penyadapan secara otomatis. Itu berlebihan," ia menambahkan.

Apalagi, menurut Haris Azhar, Ketua Kontras, hingga saat ini belum ada jaminan penyadapan tersebut akan dilakukan untuk kepentingan keamanan. "Jika digunakan untuk kepentingan politik, bisa berabe," katanya saat ditemui di sela-sela perayaan ulang tahun Kontras ke-13 di kantor lembaga itu kemarin.

Saat ini, pemerintah dan Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat sedang membahas Rancangan Undang-Undang Intelijen. Rancangan itu, antara lain, memuat pasal pemberian kewenangan kepada lembaga intelijen untuk melakukan penyadapan tanpa seizin pengadilan. Kewenangan itu berbeda dengan ketentuan yang berlaku sebelumnya, yakni mengharuskan intelijen mendapat izin pengadilan sebelum melakukan penyadapan.

Menurut anggota Komisi Pertahanan dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Muhammad Najib, Komisi Pertahanan menyetujui pemberian kewenangan itu karena persetujuan dari pengadilan untuk menyadap biasanya terlambat terbit. "Di sisi lain, intelijen menduga ada persoalan yang harus segera diketahui," ujarnya di gedung DPR, Jumat lalu. Najib memperkirakan rancangan udang-undang ini akan rampung dalam dua kali pembahasan oleh Dewan.

Haris dan Ifdal tak setuju dengan pendapat Najib. "Idealnya, penyadapan dilakukan seizin pengadilan. Hal itu perlu agar intelijen tidak sewenang-wenang dalam menyadap," kata Haris.

"Privasi seseorang akan terganggu," kata Ifdal menegaskan. Menurut dia, kewenangan penyadapan otomatis bagi intelijen akan menabrak hak asasi kebebasan seseorang yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diamendemen. Karena itu, urusan penyadapan bagi intelijen, menurut Ifdal, "Perlu diformulasi ulang."

Selain urusan penyadapan, masih ada tiga hal lain yang dibahas oleh pemerintah dan Komisi Pertahanan: kewenangan intelijen melakukan pencegahan, penangkalan dini, dan pemeriksaan intensif; pembentukan lembaga Badan Koordinasi Intelijen; serta keterlibatan DPR dalam melakukan pengawasan.

Ihwal usul melakukan pencegahan, penangkalan dini, dan pemeriksaan intensif, kata Najib, Komisi Pertahanan belum menyetujuinya. "Saya khawatir kewenangan itu rentan disalahgunakan, khususnya terkait dengan kepentingan politik penguasa," katanya.

l RUSMAN PARAQBUEQ | AHMAD RAFIQ | DWI WIYANA