Koalisi Advokasi RUU Intelijen

Koalisi Advokasi RUU Intelijen

Parlemen bersama pemerintah berencana mengesahkan draft RUU Intelijen Negara menjadi Undang-Undang Intelijen pada 2011. Melalui rangkaian pembahasan yang telah dilakukan parlemen dan pemerintah, draft RUU Intelijen telah mengalami beberapa perubahan.

Kami sedari awal secara penuh mendukung rencana parlemen dan pemerintah yang akan mengatur kelembagaan intelijen melalui pembentukan Undang-Undang Intelijen. Namun demikian, pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Intelijen itu sudah semestinya menjadi bagian yang tidak terpisah dari reformasi intelijen. Dalam konteks itu, prinsip-prinsip dasar penting dalam kehidupan kenegaraan yang demokratik sudah sepatutnya menjadi bagian yang inheren di dalam Undang-Undang Intelijen.

Kami menilai draft RUU Intelijen Negara yang sedang dibahas parlemen belum sepenuhnya mengakomodasi prinsip-prinsip negara demokratik dan justru menimbulkan persoalan serius terhadap tata nilai kehidupan negara demokratik itu sendiri, di antaranya:

1. Defenisi Intelijen

Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa intelijen negara adalah lembaga pemerintah. Pada dasarnya lembaga intelijen bukanlah lembaga pemerintah tetapi alat negara. Defenisi itu telah meletakkan posisi intelijen sebagai alat penguasa yang bekerja untuk kepentingan penguasa dan bukan alat negara yang bekerja untuk kepentingan rakyatnya. Hal itu sangat mengkhawatirkan karena sangat mungkin bisa digunakan untuk memata-matai rakyat demi kepentingan penguasa semata dan buka memata-matai musuh yang sesungguhnya sebagaimana pernah dialami pada masa Orde Baru.

2. Penyadapan

Adanya penolakan penyadapan melalui izin pengadilan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 31 bukan hanya berpotensi mengancam hak-hak asasi warganegara tetapi juga rentan untuk disalahgunakan (abuse of power) demi kepentingan ekonomi maupun politik kekuasaan. Intelijen memang memerlukan kewenangan untuk melakukan penyadapan /intersepsi, namun demikian hal itu harus dilakukan melalui mekanisme yang baku dan rigid serta harus memiliki prasyarat yang jelas, semisal pentingnya mendapatkan persetujuan pengadilan dalam penyadapan.

Mengacu kepada Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PPU-1/2003; No. 012-016-019/PUU-IV/2006; No. 5/PUU-VIII/2010, MK berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan tersendiri tentang penyadapan setingkat undang-undang untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman. Dengan demikian pembahasan RUU Intelijen sudah sepantasnya berbarengan dengan pembahasan RUU tentang Penyadapan demi kepentingan keselarasan pengaturan penyadapan intelijen.

3. Rahasia Informasi Intelijen

Pengaturan rahasia intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 jo Pasal 39 RUU Intelijen masih menimbulkan multitafsir dan bersifat karet. Pengaturan yang karet dan multitafsir ini mengancam kebebasan informasi, kebebasan pers dan demokrasi itu sendiri.

4. Penangkapan (DIM Pemerintah)

Pemberian kewenangan menangkap kepada intelijen mengancam hak asasi manusia dan merusak mekanisme criminal justice system. Pemberian kewenangan itu sama saja dengan melegalisasi penculikan dalam undang-undang intelijen mengingat kerja intelijen yang tertutup dan rahasia. Penting untuk diingat bahwa badan intelijen negara adalah bagian dari lembaga intelijen non-judicial yang tidak termasuk menjadi bagian dari aparat penegak hukum, seperti polisi dan jaksa sehingga adalah salah dan tidak dibenarkan pemberian kewenangan menangkap itu. Dalam negara hukum, kewenangan menangkap maupun menahan hanya bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum.

5. Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN)

Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN) sebagai lembaga baru yang diatur dalam RUU ini akan menjadi lembaga yang menggantikan kedudukan Badan Intelijen Negara (BIN) yang memiliki kewenangan sangat luas. Dalam hal itu, LKIN seharusnya tidak boleh memiliki kewenangan dan fungsi operasional, seperti melakukan intersepsi komunikasi, pemeriksaan aliran dana, dan lain-lain. Pelaksanaan fungsi operasional diserahkan kepada lembaga-lembaga intelijen yang sudah terbentuk yang telah memiliki kewenangan operasional.

6. Pengawasan

Pengaturan mekanisme pengawasan dalam RUU Intelijen Negara ini hanya dilakukan dalam bentuk pengawasan parlemen oleh DPR yang dilaksanakan oleh perangkat kelengkapan DPR yang membidangi pengawasan intelijen. Tidak ada ketentuan yang mengatur pengawasan internal, pengawasan eksekutif, maupun pengawasan hukum. Di titik ini, pengawasan yang dilakukan oleh parlemen sebaiknya dilakukan oleh komisi intelijen tersendiri di dalam parlemen, yakni dengan membentuk komisi baru yang khusus mengawasi intelijen.

7. Organisasi dan Peran

Dari sisi organisasi, RUU Intelijen Negara tidak menganut diferensiasi struktur dan spesialisasi fungsi. RUU Intelijen Negara tidak membagi wilayah kerja antara intelijen luar negeri, intelijen dalam negeri, intelijen militer, dan intelijen penegakan hukum secara tegas.

8. Struktur dan Kedudukan

RUU Intelijen Negara juga belum dapat memisahkan akuntabiltas antara struktur yang bertanggungjawab dalam membuat kebijakan dengan struktur yang bertanggungjawab secara operasional dalam melaksanakan kebijakan. Sudah semestinya ke depan seluruh aktor-aktor keamanan yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan tidak terkecuali lembaga-lembaga intelijen berada di bawah atau menjadi bagian dari struktur departemen/kementerian setingkat menteri.

9. Personel dan Rekruitmen

Terkait dengan anggota intelijen, RUU Intelijen Negara hanya secara sumir mengatur tentang personil intelijen. Tidak diatur bagaimana mekanisme rekrutmen yang baik secara terbuka maupun tertutup.

10. Kode Etik dan Larangan

Selain itu, RUU Intelijen Negara ini juga masih belum mengatur mengenai pengaturan atau kode etik intelijen yang mencakup kewajiban, hak dan larangan bagi seluruh aktivitas dan aspek intelijen.

11. Sipilisasi Intelijen

RUU ini belum mengatur tentang agenda sipilisasi intelijen. Sudah seharusnya di era demokratisasi seluruh lembaga intelijen adalah sipil dan bukan TNI aktif, kecuali intelijen militer. Sampai saat ini Badan Intelijen Negara (BIN) masih diisi oleh TNI aktif. Padahal Kepala BIN saja berasal dari sipil.

12. Hak korban

RUU Intelijen Negara belum mengatur tentang hak-hak korban, khususnya terkait dengan komplain korban apabila terdapat tindakan intelijen yang menyimpang dan menimbulkan persoalan serius terhadap hak-hak masyarakat.

Kami mendesak kepada parlemen dan pemerintah untuk tidak tergesa-gesa dalam melakukan pembahasan RUU Intelijen Negara dan tetap membuka ruang yang luas bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan pandangan di dalam upaya menyempurnakan RUU Intelijen Negara yang ada, sebagaimana disyaratkan dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Perundang-undangan.

Kami mengapresiasi secara penuh terhadap anggota parlemen yang menolak rencana pemberian kewenangan menangkap untuk intelijen di dalam Undang-Undang Intelijen. Sudah seharusnya pembentukan Undang-Undang Intelijen dapat menjaga keseimbangan antara kebutuhan negara untuk tetap menjamin dan melindungi kebebasan masyarakat sipil dan hak asasi manusia di satu sisi dan menjaga serta melindungi keamanan nasional di sisi lain.

Jakarta, 28 Maret 2011

Koalisi Advokasi RUU Intelijen

Imparsial, Kontras, IDSPS, Elsam, the Ridep Institute, Lesperssi, Setara Institute, LBH Masyarakat, ICW, YLBHI, LBH Jakarta, HRWG, Praxis, Infid, Yayasan SET, KRHN, Leip, Ikohi, Foker Papua, PSHK, MAPI, dan Media Link, Bambang Widodo Umar