21 Tahun IDAHO, Kekerasan Dan Diskriminasi Masih Mendera LGBTIQ

International Day Against Homophobia (IDAHO) 17 Mei 2011
“21 Tahun IDAHO, Kekerasan Dan Diskriminasi Masih Mendera LGBTIQ”

“Apabila seseorang diserang, diperlakukan dengan kejam, atau dipenjarakan karena orientasi seksual mereka, kita harus bersuara.”
(Ban Ki-moon, Sekretaris Jenderal PBB,10 Desember 2010)

17 Mei 2011, seluruh dunia memperingati 21 tahun diperingatinya hari international melawan homophobia atau yang secara internasional dikenal dengan International Day Against Homophobia (IDAHO). Pada 17 Mei 1990 World Health Organization (WHO) – Badan Kesehatan Dunia secara resmi menyatakan bahwa homoseksual bukan penyakit/gangguan kejiwaan.  Di Indonesia melalui Kementerian Kesehatan pada 1993 di dalam Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ) III juga mengeluarkan homoseksual dari klasifikasi sebagai gangguan jiwa/penyakit. Keputusan ini menjadi rujukan bagi para dokter, psikiatri maupun psikolog di Indonesia maupun dunia.

Kemudian pada konferensi aktivis kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender-Transseksual, Interseks & Queer (LGBTIQ) dan HAM dunia di Montreal, Kanada pada 1996 bersepakat tanggal 17 Mei diperingati sebagai IDAHO. 

HOMOPHOBIA sendiri adalah suatu sebutan bagi orang atau kelompok yang “PHOBIA” atau takut atau benci atau memiliki sikap sinistik terhadap para homoseks yang dilandasi oleh beragam alasan, mulai dari alasan dogma agama yang masih dimaknai sangat sempit, hingga alasan-alasan yang sebenarnya lebih bersifat “IKUT-IKUTAN” karena dirinya takut dituduh sebagai homo apabila tak ikut menjadi homophobic.

Hingga hari ini, lebih dari 70 negara masih mengkriminalisasikan kelompok LGBTIQ dalam kebijakan negara tersebut. Sehingga ada jutaan orang terancam penangkapan, dipenjarakan dan bahkan di beberapa negara dihukum mati.

Untuk itu Sekretaris Jenderal dan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan †dekriminalisasiterhadap homoseksual di seluruh dunia. Selanjutnya memastikan negara mengambil tindakan khusus untuk melindungi setiap individu dari kekerasan dan diskriminasi atas dasar orientasi seksual dan identitas gender atas alasan apa pun.

Indonesia yang berasaskan PANCASILA dan Undang-Undang Dasar 1945, yang memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap nilai-nilai kemanusiaan, namun disilain, Negara yang seharusnya memiliki kewajiban untuk melakukan perlindungan, justru terkesan membiarkan terjadinya kekerasan serta diskriminasi berbasis orientasi seksual, seperti :

  • Diskriminasi kepada  LGBTIQ untuk Bekerja disektor formal dan/atau pemecatan-pemecatan kepada homoseksual yan diketahui merupakan homoseksual;
  • Kasus-kasus kekerasan verbal berupa ejekan-ejekan, stigmatisasi hingga penghujatan dimuka umum kepada homoseksual, yang bahkan kerap pula dilakukan oleh aparat hukum;
  • Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, termasuk menghukum seorang homoseksual hingga pengusiran;
  • Kasus-Kasus penyerangan hingga tindak kekerasan terhadap hak-hak berserikat dan berkumpul homoseksual, seperti:
  • Pembubaran pertemuan ILGA di Surabaya pada tahun 2010;
  • Pelatihan HAM diHotel Bumiwiyata Depok pada tahun 2010;

Serta lain sebagainya;

  • Kasus-kasus pembedaan perlakuan dan ketidak ramahan terhadap homoseksual pada ranah-ranah pelayanan publik seperti rumah sakit, kantor-kantor kelurahan/kecamatan hingga kantor-kantor kepolisian;
  • kasus-kasus kekerasan yang dilakukan kepada para waria maupun pekerja seks yang dilakukan oleh aparat-aparat SATPOL PP dalam serangakaian aksi penertiban mereka;

serta lain sebagainya. Tindakan kekerasan di atas telah menyebabkan LGBT, baik secara kelompok ataupun individual semakin kehilangan hak-hak dasarnya sebagai warga Negara. Individu atau kelompok LGTIQ dipaksa menjadi korban karena sistem kebijakan pemerintah yang tidak memberikan jaminan perlindungan bagi setiap warga Negara.

Disektor kebijakanpun, negara melakukan diskriminasi kepada kelompok LGBTIQ, seperti:

  • Kebijakan daerah (Perda) dibeberapa propinsi, seperti di propinsi Sumatera Selatan dan Sumatera Barat yang menyamakan homoseksual sebagai pelacur.
  • UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang menyebutkan homoseksual sebagai persenggamaan menyimpang. 

 

Realitas ini menimbulkan paradoks tersendiri. Indonesia, merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi beberapa konvensi International seperti Kovenan International Hak Sipil dan Politik (UU No. 12 Tahun 2005), Kovenan Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya (UU NO.11 Tahun 2005), Konvensi Anti Penyiksaan (UU No.5 Tahun 1998), Konvensi CEDAW (UU No. 7 Tahun 1984) dan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.  

Selain itu masih ada lagi satu dokumen yang memberikan perlindungan, pemenuhan dan penghargaan atas dasar orientasi seksual dan identitas gender mereka yang dinamakan dengan Prinsip Yogyakarta. Dokumen ini dirumuskan oleh 29 pakar hukum dan HAM International dari 25 negara pada 6-9 November 2006 di Yogyakarta-Indonesia.

Atas dasar itu semua, kami  Lintas Organisasi Peduli LGBTIQ yang terdiri lebih dari 62 organisasi lintas sektoral dan isyu di Indonesia, dengan tegas menuntut agar sesegera mungkin:

  • Pemerintah memberikan perlindungan, pemenuhan dan penghargaan kepada setiap orientasi seksual dan identitas gender  tiap †tiap warga negaranya, termasuk mengakui Prinsip Yogyakarta sebagai dokumen resmi di tingkat Nasional maupun mendorongnya di tingkat Internasional.
  • Kepolisian Republik Indonesia, beserta jajarannya agar segera mengusut dan menindak secara tuntas segala kasus kekerasan yang mencederai individu, ataupun kelompok LGBTIQ diseluruh Indonesia.
  • Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan jajaran pemerintah di seluruh Indonesia agar mencabut seluruh kebijakan di tingkat nasional maupun lokal yang mengkriminalisasikan dan mendiskriminasikan kelompok LGBTIQ. termasuk memberikan jaminan dan perlindungan kebebasan berserikat bagi kelompok LGBTIQ.
  • Media massa untuk memberikan pemberitaan yang berimbang dan tidak bias orientasi seksual dan identitas gender didalam setiap pemberitaan yang berkaitan dengan kelompok LGBTIQ, sekaligus memberikan ruang yang luas dalam upaya memberikan informasi dan pembelajaran soal toleransi dan pemahaman yang benar terhadap homoseksual dan keberagaman seksualitas.

 

Kami juga menghimbau kepada segenap masyarakat Indonesia untuk selalu menanamkan nilai-nilai persaudaraan dalam perbedaan tanpa memandang orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda didalam kaidah Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana yang termaktub didalam Pancasila serta UUD 1945.

Mari MERAYAKAN KEBERAGAMAN..

Jakarta, 23 Mei 2011
Lintas Organisasi Peduli LGBTIQ

JASS Southeast Asia, Asia South Pacific Assoc. for Basic & Adult Education (ASPBAE), IAC, Violet Grey Banda Aceh, Kapal Perempuan, Perempuan Mahardhika, KEBAYA Yogyakarta, OurVoice, Jurnal Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Institut Pelangi Perempuan, Gaya Nusantara, Aliansi SUMUT Bersatu, RPUK-Aceh, BITES, Komunitas Sehati Makassar, PLU Satu Hati, GWL INA, JIL, Ardhanary Institute, IPPI, Komisi Untuk Orang Hilang Dan Tidak Kekerasan (KontraS), LBH Apik, Kartini Asia, Yayasan Srikandi Sejati (YSS), Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), Demos, KOMNAS Perempuan, KOMNAS HAM, Jala PRT, STIGMA, PKM, JANGKAR, PEKKA, Institut Perempuan, WRI, PKGS UI, PULIH, FKW, YIM, Abiasa, LBH Jakarta, YLBHI, ELSHAM, Solidaritas Perempuan, PKBI Jogja, Pesada-Sumut, Elsaf, Imparsial, SEJUK, BHINNEKA, JIAD-Jatim, LINK Jombang, Komunitas Salihara, JARIK-Yogyakarta, Sahabat Kapas-Solo, Miss Mawar-Singkawang, Rumpun Tjoet Nyak Dhien, Yayasan Kalyanamitra, WCC Sinceritas Medan, YP-LINA-Aceh, LP2, IMF-Kupang, PASTI Indonesia, PEMERHATI, JRMK, BINGKAI MERAH, Dipayoni, HAMMURABI, JSKK, KSMT, TheForgotten Journal