Meminta Penjelasan Agenda Konsultasi Publik Pembahasan RUU Intelijen Negara

Hal :      Meminta Penjelasan Agenda Konsultasi Publik Pembahasan RUU Intelijen Negara

 

Kepada YTH
Mahfudz Siddiq
Ketua Komisi I DPR RI
Di – Tempat

 Dengan Hormat,
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bermaksud meminta penjelasan resmi terkait agenda konsultasi publik pembahasan Rancangan Undang – Undang Intelijen Negara. Penjelasan ini sangat penting untuk memberikan ruang partisipasi publik dan mengukur sejauh mana kesungguhan DPR RI mendengar aspirasi publik, khususnya para korban pelanggaran HAM masa lalu, yang rata-rata menjadi korban sistem Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada masa Orde Baru dan kalangan masyarakat sipil pada umumnya. Kopkamtib menjadi sentral politik keamanan Orba. Institusi ini menggunakan pendekatan intelijen militer dalam melaksanakan pelbagai operasi yang pada ujungnya banyak bersinggungan dengan kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang hingga kini belum tuntas. 

KontraS melihat adanya kecenderungan pengulangan praktik politik keamanan di masa lalu dalam RUU ini. memperkuat kewenangan khusus Badan Intelijen Negara idealnya harus melibatkan konsultasi publik, secara luas, berkala dan berkesinambungan. Hal ini wajib dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI dalam merancang sebuah produk hukum khususnya yang menyangkut kepentingan umum. Namun demikian, secara khusus dalam pembahasan RUU Intelijen Negara, tidak banyak ruang konsultasi publik yang disediakan.

Konsultasi ini juga menjadi perhatian KontraS, mengingat cukup banyak pasal – pasal yang secara substansi dan redaksional masih mendapat sorotan keberatan publik. Diantaranya; ketidak jelasan definisi keamanan nasional (pasal 1 ayat 1), tidak adanya kejelasan batas kerahasiaan informasi intelijen ( pasal 1 ayat 6), tidak memasukkan pengakuan dan perlindungan HAM dalam penyelenggaraan intelijen (pasal 2), rentan multitafsir terkait fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan intelijen (pasal 6), kewenangan intelijen untuk menangkap dan menyadap ancaman bagi kebebasan sipil politik dan merusak tugas keamanan yang diemban Polri, tidak perlu melibatkan pemerintah daerah dalam fungsi intelijen mengingat sistem pertahanan tidak didesentralisasi (pasal 14), kerahasiaan informasi intelijen ancaman bagi kebebasan pers (pasal 24,25, 26).

Beberapa catatan tersebut hanyalah sebagian dari diskursus yang berkembang secara luas ditengah masyarakat dari berbagai lapisan dalam menilai kehadiran RUU Intelijen Negara. DPR RI mestinya dapat menangkap fenomena ini, mengingat tidak sedikit pula, masukan dan catatan yang telah diberikan oleh organiassi masyarakat sipil terkait kelemahan dan rekomendasi penyempurnaan RUU ini.

Tentu kita semua tidak menginginkan RUU Intelijen Negara justru mereduksi bahkan vis a vis dengan substansi demokrasi dan Hak Asasi Manusia yang telah menjadi pilar konstitusi. Kita tentu berharap, kehadiran RUU ini mampu memberikan kepastian hukum dan sebagai alat ukur kerja intelijen yang akuntabel. Cukup banyak pengalaman pahit kerja intelijen di negara ini yang justru berbenturan dengan prinsip dan nilai fundamental dari HAM, sehingga melahirkan beragam pelanggaran HAM dan tragedi kemanusiaan sepanjang pemerintahan orde baru dan perjalanan 13 tahun reformasi.

Untuk itu, sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), kami meminta DPR RI dan secara khusus komisi I untuk memberikan penjelasan secara resmi dan komprehensif terkait agenda dan rencana kerja konsultasi publik pembahasan RUU Intelijen Negara.

Demikian surat ini kami sampaikan. Kami berharap agar mendapat perhatian serius, atas kerjasamanya kami ucapkan terimakasih.

Jakarta, 27 Mei 2011
Badan Pekerja,

Sri Suparyati, SH, LLM
Kadiv Advokasi Hukum dan HAM